Namaku Khalid Muttaqin, Teman-temanku biasa memanggilku Khalid. Sejak aku dilahirkan pada 01 November tahun 1994 aku dipelihara oleh kedua orang tua yang berlatar pendidikan bisa dibilang tinggi pada jamannya. Jika dilihat dari latar kedua orang tuaku, aku adalah anak yang berpendidikan, baik dari segi moral, agama, sikap, tanggung jawab, maupun hubungan sosial. Namun kenyataannya tidak seperti yang dilukiskan oleh kedua orang tuaku. Aku malah sebaliknya. Jika dikatakan aku bukan anak ayah dan ibuku, mungkin bisa. Maksudnya akhlak ayah dan ibuku tidak menurun kepadaku. Tapi darah dagingku tetaplah dari ayah dan ibu.
Saat menginjak bangku sekolah dasar, aku hampir tidak pernah menempati posisi teratas dalam pringkat kelas, namun selalu dibawahnya. Sekali aku dapatkan peringkat kelas, itu pun karena rivalku tidak bisa hadir saat ujian sebab sakit. Jika dibilang pandai akurasa aku tidak pandai. Hanya saja aku heran mengapa setiap teman-temanku selalu bertanya mengenai pelajaran kepadaku. Mungkin karena ayah dan ibuku adalah seorang guru, jadi aku dianggap pintar, sebenarnya tidak.
Tidak habis enam tahun aku sekolah di sekolah dasar, aku dipindahkan ke madrasah ibtida’iyah yang derajatnya setingkat dengan sekolah dasar. Pindah sekolah dengan alasan mengikuti orang tua memeng sudah umum, yah karna tidak ada alasan lain, maka alasan itu pulalah yang menjadi alasan kepindahan sekolahku. Pindah tugas mengajar ayah dan ibu, berati juga pindah sekolah untukku. Dari desa terpencil dikecamatan Mantangai sana, ke Anjir kecamatan kapuas timur. Padahal hanya tinggal satu setengah tahun lagi akau akan menyelesaikan sekolahku disekolah dasar. Namun beruntungnya sekolahku yang baru lebih baik dibandingkan dengan yang lama, baik dalam bangunannya!. Namun sekolah itu memojokkanku karena seluruh pembelajaran yang telah aku dapat sebelumnya tidaklah dipelajari di sekolah baruku itu. Peringkat runnerup pun tidak bisa aku dapatkan lagi, yang terbaik hanya peringkat kelima dari jajaran paling bawah.
Menyelesaikan jenjang sekolah dasar memang terasa bahagia, namun ternyata kelulusan hanya sebuah awal dari tahap selanjutnya yang lebih sulit lagi. Umur 12 tahun aku dipisah dari orang tuaku untuk sekolah dipesantren, tidak tanggung-tanggung. Amuntai adalah pesantren pilihan ayahku. Namun hasilnya, tidak genap dua tahun aku telah ditarik pulang oleh ayahku untuk sekolah di kampung saja. yang jelas kualitas sekolahnya jauh tertinggal dari sekolah pesantren. Ditarik bukan karena ketidak cukupan faktor biaya, namun karna ulahku yang bukan-bukan di pesantren.
Kehidupan dipesantren yang singkat, tidak berlalu begitu saja. walaupun aku tidak menyelesaikan sekolah tingkat menengahku disana namun aku mendapatkan suatu hal yang berharga yaitu tentang tulisan. Bermula dari kegemaranku mengunjungi perpustakaan, lambat laun aku mulai tertarik untuk memebaca buku-buku novel yang tersusun rapi dalam lemari yang berdebu. Dan akhirnya membca menjadi kegemaranku. Setumpuk novel telah kubaca, sampai-sampai aku rela bolos sekolah untuk mencarI episode lanjutan dari novel yang telahku baca sebelumnya. Setelah sekian banyak novel yang aku baca, muncullah ide dalam benakku suatu cerita yang ingin aku buat. Namun ide itu tidak pernah terealisasikan, hingga
Suatu hari, dalam pelajaran yang membosankan dan membuatku menguap tak henti-henti. Sembari memain-mankan pulpen ditanganku. Aku pun mencoretkan beberapa patah kata yang ada dalam pikiranku ke atas lembaran kosong yang seharusnya berisi tentang pelajarn di hadapanku. Tidak aku sangka hal mengejutkan terjadi. Sang guru yang merasa tidak diprhatikan datang menghampiriku dan menanyakan apa yang sedang aku lakukan. Tersentak dari lamunanku gurupun langsung mengambil lembaran yang aku tulis dan menyuruh salah satu temanku membacakannya. Hal yang selalu aku ingat dalam hidupku adalah, sorakan menjadi penutup dari bacaan yang telah aku buat. Sang gurupun memuji tulisanku dengan kata-kata yang selalu aku ingat “ternyata khalid berbakat menjadi penulis, tulisannya bagus!”. Namun guru Bahasa Indonesia itu kembali meluruskan ku agar fokus pada saat pelajaran berlangsung. Dan sejak saat itu pelajaran Bahasa Indonesia lah yang aku gemari.
Pindah sekolah bukanlah suatu kegagalan, kata ibuku. Mungkin saja kamu memang tidak cocok dengan sekolah pesantren, lanjutnya lagi. Aku hanya diam dan mengiakan. Sedang ayahku marah dan hampir saja memebrentikanku sekolah. Sekarang sekolahku adalah sekolah umum tingkat menengah. Pelajaran biologi, fisika, ilmu pengetahuan sosial, apalagi matematika membuatku tidak betah di sekolah baruku, terlebih lagi guru pelajaran bahasa Indonesia yang jarang masuk, membuatku turun sekolah hanya untuk sebuah penantian.
Diwaktu luang yang berharga itulah huruf demi huruf memenuhi buku yang aku siapkan khusus untuk menulis apa saja yang terlintas dalam benakku. Segala hal yang ada disekitar, sesuatu yang aku gemari, menjadi topik utama dalam bukuku. Tak terhindar masalah cinta. Hingga dalam waktu yang lama, buku tebalku telah penuh dengan segala orat-oret yang ada dalam fikiranku. Bermula dari sebuah kegemaranku untuk menulis, sekarang aku mulai berfikir bagaimana agar tulisanku dibaca oleh orang lain. Memang susah dijaman seperti ini mencari orang dengan hoby membaca, jangan kan membaca tulisan yang tercatak rapi, apalgi mebaca tulisan oret-oretan. Mustahil akan ada pembacanya.
Mengakhiri sekolah di menengah umum, kini aku kembali ke ranah lingkungan pesantren. Yang disitu hanya terdapat 2 bahasa, Arab dan Inggris dengan pelajaran bahasa indonesia yang minimum. Kebiasaanku menulis cerita bersastrakan Indonesia lambat laun tergantikan dengan tulisan arab yang dituntut untuk selalu dilatih. Ditambah lagi kekecewaanku terhdap tulisanku sendiri yang tanpa ada pembacanya. Kebiasaan menulis atau Kegemaran menulisku mulai pudar. Hanya saja pulpen dan kertas selalu menyertaiku kemanapun aku pergi. Begitulah hingga aku lulus jenjang menengah atas di salah satu sekolah favorit didesaku.
Mengawali jenjang perguruan tinggi dengan mendaftar SNMPTN di universitas palangkaraya dengan mengambil jurusan Bahasa Indonesia sebagai pilihan kedua untuk antisipasi ketidak lulusan dalam tes Bahasa Inggris. Ternyata tidak sesuai dengan segala harapan yang diharapkan, kedua-duanya fail. Beruntung dipalangkaraya tidak hanya memiliki universitas tapi juga banyak perguruan tinggi. Setelah memilih-milih beberapa perguruan tinggi. Sekolah tinggi agama islam menjadi pilihan terkhirku. Melalui test jalur kampus, masuk sekolah tinggi yang biasa disebut STAIN palangkaraya, aku diterima.
Masuk kampus, seperti masuk kesebuah dunia baru bagiku. Mungkin itulah yang dipikirkan 300 mahasiswa baru lain yang masuk tahun 2012 itu. Melalui orentasi penerimaan mahasiswa baru sedikit aku kenal tentang kampus, mahasiswa, dan organisasi. Saat pertama mendengar masalah organisasi, seakan organisasi menjadi suatu hal yang wajib bagi mahasiswa, dan satu-satunya yang aku pikir tentang organisasi adalah aku tidak tertarik. Namun setiap orang berkata bahwa organisasi akan memberi manfaat.
Lama memahami kata-kata itu, aku mulai menginjakkan kaki dalam berbagai organisasi, dan memeng benar organisasi bukan lah suatu yang menarik. Hingga sebuah acara yang sangat menarik hatiku diadakan dikampusku, terlebih lagi ada acara lomba menulis didalamnya, sayang waktu yang terbatas membuat tulisanku tidak maksimal, walaupun sudah sempat aku kirimkan, tulisanku itu hasilnya tidak memuaskan. Menulis bersama Boim Lebon adalah acara yang mengadakan lomba menulis tersebut. Antusias yang tinggi menyertaiku dalam acara tersebut acara yang sama sekali tidak membuatku bosan karna acara tersebut memang benar-benar belajar menulis. Satu hal yang membuatku begitu tertarik adalah cara pempublikasian karya tulisan, salah satu cara ialah bergabung dengan FLP. Sebuah jalan terang benar-benar terbuka sekarang, sebuah impian yang telah lama ditunggu akhirnya bertemu juga. Namun kini lembaran-lembaran berharga berisi karya berharga telah hilang entah tertinggal dimana. Namun sebenarnya hanya hilang sebagai lembaran, karya yang hakiki itu tetap ada dalam diriku yang siap diterbitkan oleh penerbit Khalid Muttaqin.
Saat menginjak bangku sekolah dasar, aku hampir tidak pernah menempati posisi teratas dalam pringkat kelas, namun selalu dibawahnya. Sekali aku dapatkan peringkat kelas, itu pun karena rivalku tidak bisa hadir saat ujian sebab sakit. Jika dibilang pandai akurasa aku tidak pandai. Hanya saja aku heran mengapa setiap teman-temanku selalu bertanya mengenai pelajaran kepadaku. Mungkin karena ayah dan ibuku adalah seorang guru, jadi aku dianggap pintar, sebenarnya tidak.
Tidak habis enam tahun aku sekolah di sekolah dasar, aku dipindahkan ke madrasah ibtida’iyah yang derajatnya setingkat dengan sekolah dasar. Pindah sekolah dengan alasan mengikuti orang tua memeng sudah umum, yah karna tidak ada alasan lain, maka alasan itu pulalah yang menjadi alasan kepindahan sekolahku. Pindah tugas mengajar ayah dan ibu, berati juga pindah sekolah untukku. Dari desa terpencil dikecamatan Mantangai sana, ke Anjir kecamatan kapuas timur. Padahal hanya tinggal satu setengah tahun lagi akau akan menyelesaikan sekolahku disekolah dasar. Namun beruntungnya sekolahku yang baru lebih baik dibandingkan dengan yang lama, baik dalam bangunannya!. Namun sekolah itu memojokkanku karena seluruh pembelajaran yang telah aku dapat sebelumnya tidaklah dipelajari di sekolah baruku itu. Peringkat runnerup pun tidak bisa aku dapatkan lagi, yang terbaik hanya peringkat kelima dari jajaran paling bawah.
Menyelesaikan jenjang sekolah dasar memang terasa bahagia, namun ternyata kelulusan hanya sebuah awal dari tahap selanjutnya yang lebih sulit lagi. Umur 12 tahun aku dipisah dari orang tuaku untuk sekolah dipesantren, tidak tanggung-tanggung. Amuntai adalah pesantren pilihan ayahku. Namun hasilnya, tidak genap dua tahun aku telah ditarik pulang oleh ayahku untuk sekolah di kampung saja. yang jelas kualitas sekolahnya jauh tertinggal dari sekolah pesantren. Ditarik bukan karena ketidak cukupan faktor biaya, namun karna ulahku yang bukan-bukan di pesantren.
Kehidupan dipesantren yang singkat, tidak berlalu begitu saja. walaupun aku tidak menyelesaikan sekolah tingkat menengahku disana namun aku mendapatkan suatu hal yang berharga yaitu tentang tulisan. Bermula dari kegemaranku mengunjungi perpustakaan, lambat laun aku mulai tertarik untuk memebaca buku-buku novel yang tersusun rapi dalam lemari yang berdebu. Dan akhirnya membca menjadi kegemaranku. Setumpuk novel telah kubaca, sampai-sampai aku rela bolos sekolah untuk mencarI episode lanjutan dari novel yang telahku baca sebelumnya. Setelah sekian banyak novel yang aku baca, muncullah ide dalam benakku suatu cerita yang ingin aku buat. Namun ide itu tidak pernah terealisasikan, hingga
Suatu hari, dalam pelajaran yang membosankan dan membuatku menguap tak henti-henti. Sembari memain-mankan pulpen ditanganku. Aku pun mencoretkan beberapa patah kata yang ada dalam pikiranku ke atas lembaran kosong yang seharusnya berisi tentang pelajarn di hadapanku. Tidak aku sangka hal mengejutkan terjadi. Sang guru yang merasa tidak diprhatikan datang menghampiriku dan menanyakan apa yang sedang aku lakukan. Tersentak dari lamunanku gurupun langsung mengambil lembaran yang aku tulis dan menyuruh salah satu temanku membacakannya. Hal yang selalu aku ingat dalam hidupku adalah, sorakan menjadi penutup dari bacaan yang telah aku buat. Sang gurupun memuji tulisanku dengan kata-kata yang selalu aku ingat “ternyata khalid berbakat menjadi penulis, tulisannya bagus!”. Namun guru Bahasa Indonesia itu kembali meluruskan ku agar fokus pada saat pelajaran berlangsung. Dan sejak saat itu pelajaran Bahasa Indonesia lah yang aku gemari.
Pindah sekolah bukanlah suatu kegagalan, kata ibuku. Mungkin saja kamu memang tidak cocok dengan sekolah pesantren, lanjutnya lagi. Aku hanya diam dan mengiakan. Sedang ayahku marah dan hampir saja memebrentikanku sekolah. Sekarang sekolahku adalah sekolah umum tingkat menengah. Pelajaran biologi, fisika, ilmu pengetahuan sosial, apalagi matematika membuatku tidak betah di sekolah baruku, terlebih lagi guru pelajaran bahasa Indonesia yang jarang masuk, membuatku turun sekolah hanya untuk sebuah penantian.
Diwaktu luang yang berharga itulah huruf demi huruf memenuhi buku yang aku siapkan khusus untuk menulis apa saja yang terlintas dalam benakku. Segala hal yang ada disekitar, sesuatu yang aku gemari, menjadi topik utama dalam bukuku. Tak terhindar masalah cinta. Hingga dalam waktu yang lama, buku tebalku telah penuh dengan segala orat-oret yang ada dalam fikiranku. Bermula dari sebuah kegemaranku untuk menulis, sekarang aku mulai berfikir bagaimana agar tulisanku dibaca oleh orang lain. Memang susah dijaman seperti ini mencari orang dengan hoby membaca, jangan kan membaca tulisan yang tercatak rapi, apalgi mebaca tulisan oret-oretan. Mustahil akan ada pembacanya.
Mengakhiri sekolah di menengah umum, kini aku kembali ke ranah lingkungan pesantren. Yang disitu hanya terdapat 2 bahasa, Arab dan Inggris dengan pelajaran bahasa indonesia yang minimum. Kebiasaanku menulis cerita bersastrakan Indonesia lambat laun tergantikan dengan tulisan arab yang dituntut untuk selalu dilatih. Ditambah lagi kekecewaanku terhdap tulisanku sendiri yang tanpa ada pembacanya. Kebiasaan menulis atau Kegemaran menulisku mulai pudar. Hanya saja pulpen dan kertas selalu menyertaiku kemanapun aku pergi. Begitulah hingga aku lulus jenjang menengah atas di salah satu sekolah favorit didesaku.
Mengawali jenjang perguruan tinggi dengan mendaftar SNMPTN di universitas palangkaraya dengan mengambil jurusan Bahasa Indonesia sebagai pilihan kedua untuk antisipasi ketidak lulusan dalam tes Bahasa Inggris. Ternyata tidak sesuai dengan segala harapan yang diharapkan, kedua-duanya fail. Beruntung dipalangkaraya tidak hanya memiliki universitas tapi juga banyak perguruan tinggi. Setelah memilih-milih beberapa perguruan tinggi. Sekolah tinggi agama islam menjadi pilihan terkhirku. Melalui test jalur kampus, masuk sekolah tinggi yang biasa disebut STAIN palangkaraya, aku diterima.
Masuk kampus, seperti masuk kesebuah dunia baru bagiku. Mungkin itulah yang dipikirkan 300 mahasiswa baru lain yang masuk tahun 2012 itu. Melalui orentasi penerimaan mahasiswa baru sedikit aku kenal tentang kampus, mahasiswa, dan organisasi. Saat pertama mendengar masalah organisasi, seakan organisasi menjadi suatu hal yang wajib bagi mahasiswa, dan satu-satunya yang aku pikir tentang organisasi adalah aku tidak tertarik. Namun setiap orang berkata bahwa organisasi akan memberi manfaat.
Lama memahami kata-kata itu, aku mulai menginjakkan kaki dalam berbagai organisasi, dan memeng benar organisasi bukan lah suatu yang menarik. Hingga sebuah acara yang sangat menarik hatiku diadakan dikampusku, terlebih lagi ada acara lomba menulis didalamnya, sayang waktu yang terbatas membuat tulisanku tidak maksimal, walaupun sudah sempat aku kirimkan, tulisanku itu hasilnya tidak memuaskan. Menulis bersama Boim Lebon adalah acara yang mengadakan lomba menulis tersebut. Antusias yang tinggi menyertaiku dalam acara tersebut acara yang sama sekali tidak membuatku bosan karna acara tersebut memang benar-benar belajar menulis. Satu hal yang membuatku begitu tertarik adalah cara pempublikasian karya tulisan, salah satu cara ialah bergabung dengan FLP. Sebuah jalan terang benar-benar terbuka sekarang, sebuah impian yang telah lama ditunggu akhirnya bertemu juga. Namun kini lembaran-lembaran berharga berisi karya berharga telah hilang entah tertinggal dimana. Namun sebenarnya hanya hilang sebagai lembaran, karya yang hakiki itu tetap ada dalam diriku yang siap diterbitkan oleh penerbit Khalid Muttaqin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar