Tap.. tap.. tap...
Kupacu langkah kakiku semakin cepat, tidak berlari tidak juga berjalan. Perasaan ku sudah tidak menentu, penuh tanda tanya, kata apa yang akan aku lantunkan dikesempatan sepersekian detik di 24 jam hari ini.
Kutundukkan kepalaku, menyembunyikan wajahku dari senyumannya yang kadang kuartikan dengan kekecewaan, atau kadang senyuman itu terlihat seperti harapan, dan satu jenis senyuman yang selalu akunantikan, senyum tulus penuh kebahagiaan. Sayangnya hanya sepersepuluh dari satu sepersekian detik waktu berpapasan lah aku bisa menemukan senyum itu.
Langkah menuju titik pertemuan antara garis vertikal dan herizontal semakin dekat. Langkah-langkah lembut kecil tanpa suara membuatku tidak dapat memperkirakan kapan kami akan bertemu di titik itu. Dalam pandanganku yang terarah pada ibu jari, mustahil untuk kumelihat sekitar dengan jelas. Sehingga pertemuan itu terasa begitu lama dalam jarak kurang lebih dua meter ini.
Penasaran memaksaku membebaskan pandanganku, memastikan kapan kami akan bertemu di titik itu. Kulirik kerahnya, memperjelas alasan mengapa kami tidak bertemu di titik itu. Dia berhenti disana, membiarkaku lewat dengan senyuman terukir diwajahnya. Akupun berhenti mencari tahu alasan keberhentiannya,
“Hendak kemana kamu? Sudah tiba waktu zuhur”
“silahkan kamu duluan saja, sampaikan salamku pada Allah! Aku masih ada kelas”
Kulanjutkan langkahku, melintas dihadapanya. Sesaat kemudian dia melintas dibelakangku meneruskan langkahnya yang terhenti entah kenapa?
Sesaat kuteringat akan pesannya, “sampaikan salamku pada Allah”. Bagaimana aku harus mengatakanya, “assalamu’alaika ya Allah, assalamualaikum ya rabb?” tak juga terasa akur dilisanku. Bagaimana akau harus mengatakannya? Logika mulai berbicara, “salam biasa disampaikan kepada manusia mahluk ciptaan Allah, bagiman caranya menyampaikan salam kepada pemberi keselamatan? Apakah ada yang akan memberikan keselamatan pada yang memberikan keselamatan?” Pesan sederhana yang memaksaku memutar balikkan otak. Perang logika dan kenyataan dalam kepalaku mengiringi langkah-langkah teriring senyuman kepergianku ke masjid Dzuhur itu.
- - -
Entah kapan ini berawal, semua terjadi begitu saja. Kata demi katanya, terkadang membuat pertempuran-pertempuran kecil dalam hatiku. Walaupun akhirnya dapatku damaikan, kata berikutnya akan datang dan memicu pertempuran lagi.
“Apakah kamu sholat 5 waktu?”
“astaghfirullah, kenapa kau ajukan pertanyaan seperti ini? Seburuk apa pandanganmu terhadapku, sungguh pertanyaan ini menghancurkanku”
“Kenapa kamu bertanya seperti itu? Iya aku sholat 5 waktu”
Secara panjang lebar dijelaskannya fakta dan bukti yang menunjukkan bahwa pernyataanku tidak benar, membuatku semakin terpojok dan hanya tertunduk memandangi ukiran-ukiran yang tumpah dari pulpenku.
“setiap orang islam baligh sholat lima waktu, kalau tidak sholat, secara inplisit diragukan keislamannya” Kata-kata yang bisa meledak kapan saja dalam bentuk omelan ini berhasil kupedam dalam hati. Yang bisa kulakukan hanyalah mengalihkan pembicaraan agar situsi tidak semakin buruk. Hingga akhirnya bel tanda perpustakaan akan segera ditutup memaksa mengakhiri percakapan yang membuatku setiap hari mengunjungi perpustakaan pengundang kantuk ini. Berharap dia ada didalamnya untuk menunjukkan sepersepuluh dari sepersekian detik senyuman tulus di wajahnya.
Disaat lain aku sadar dan mengerti maksud dari kata-kata beroleskan balsam yang bersarang lekat diotakku. ”aku bukanlah orang yang baik, benar saja dia bertanya demikian, faktanya shalatku tidak selalu tepat waktu, faktanya sholatku tidak selalu dimasjid. Benarsaja dia tidak salah, aku bukan orang baik. Aku tidak tau benarkah sudah sholatku ini, aku tidak tau benarkah yang akulakukan ini? Dia benar, dia benar bertanya seperti itu”. Gumanku dalam hati.
Kata-kata yang mendobrak keangkuhan yang ada dalam diriku. Aku yang merasa sudah cukup dengan menjaga sholat lima waktu. Kini mersa terkubur dalam kekurangan-kekurangan yang harus segera aku perbaiki. Termasuk pertanyaannya yang selanjutnya,
“pernahkah kamu sholat tahajud?”
Memang memukul, faktanya aku sering melakukannya. Namun itu dulu, kuhabiskan 1-2 juz dalam sholat malamku. Sekarang, “astaghfirullah” aku tidak seperti itu lagi. Seperti sebelumnya pertempuran dalam hatiku, dimenangkan oleh kata Mutiara pembuka pintu Hidayah yang tak ternilai harganya.
- - -
Di tempat yang sama, disaat yang lain,
“Jika kuperhatikan kamu sering membantu orang, terutama wanita kenapa?”
“astaghfirullah, aku tidak tahu kalu ada sepasang mata lain yang mengawasiku selain Dia yang maha melihat dan utusannya. Semoga tidak menjadi fitnah”
“Karena aku tidak ingin terlihat buruk dimata orang lain, dimata teman-temanku. Aku selalu berusaha menjadi orang baik bagi mereka. Aku tidak ingin mereka berdosa membicarakan keburukan ku dibelakangku”
Dan berbagai alasan kuutarakan yang aku rasa yang akulakukan benar.
“tidak tahukah kau, kalu kebaikanmu pada orang bisa dimanfaatkan oleh orang lain?”
Satu kalimat yang mematahkan segala kekuatan tulusku. Hal yang tak pernah terpikirkan sedikitpun dalam benaku sebelummnya walaupun hanya terbesit sesaat. Pertempuran kecil antara membenarkan dan menyalahkan kata-katanya terjadi lagi di hatiku dan berakhir sama seperti sebelumnya. Aku tidak membantah sedikitpun mutiara itu. Lagi-lagi aku membenarkan kata-katanya.
Sura peringatan bel perpustakaan yang ketiga akhirnya menegakkan kaki-kaki kami beranjak meninggalkan perpustakaan. Langkahku berat, kuturuni anak demi anak tangga dengan perlahan. Aku merasa penuh keburukan dimatanya. Membiarkannya berjalan didepanku, menyembunyikan kebingungan dan kekahawatiran yang jelas terpancar diwajahku.
Entah kapan, entah mengapa berawal. Mutiara-mutiara itu selalu mengiang-ngiang diotaku. Membatasi tindakan, kata, langkah kaki, pandangan juga kemauanku. Namun keadaan itu tidak berlangsung lama. Sebuah teguran hinggap selang beberapa hari setelah kunikmati hidup dengan sikap yang tak pernah aku kembangkan sebelumnya, “Cuek”.
“mengapa kamu bersikap cuek?” di depan perpustakaan
“karena sorang menyarankanku begitu” jawabku
“ma’af sebelumnya, aku menjadi tidak enak sama kamu. Tidak mengapa bersikaplah seperti biasa! Aku menjadi merasa bersalah”
“tidak mengapa, aku melakukannya karna kemauanku sendiri” “aku melakukannya atas kemauanku sendiri karena saran darimu” ku sah kan kalimatku dalam hati.
Biarpun telah di peringatkan, menarik kata-katanya kembali. Tetap saja nasi telah menjadi bubur, mutiara-mutira indah itu membatasi tindakan, kata, langkah kaki, pandangan juga kemauanku. Pribadi baru yang takpernah aku kembangkan, bahkan aku tidak pernah ingin menjadi pribadi itu. Suatu kekuatan yang menumbangkan gunung keangkuhan. Kekuatan yang mencairkan kutub yang beku. Kekuatan yang menjadikan semuanya memungkinkan.
- - -
Disebuah ruang kecil yang telah lama ditinggalkan pemiliknya dengan porak poranda. Perlahan tersusun rapi, tertata lebih indah dari sebelumnya. Bukan dengan sentuhan tangan atau sedikit keringat atas usaha merapikannya. Atau sebuah masker yangku pasang melindungi pernapasanku untuk membersihkan tempat itu. Dengan sendirinya dia datang, menata kembali menjadi lebih indah. Hanya saja aku tidak bisa dengan mudah membiarkannya tinggal disana. Dibalik sebuah pintu kecil yang bergantung papan bertuliskan cinta di atasnya.
Waktu dengan kekejamannya membiarkan hal-hal indah berlalu dengan cepat dan menjadikan kesedihan-kesedihan berlangsung sangat lama. Disaatku nikmati tata-an baru yang berada diruang yang hampir roboh ini. Dengan perasan-perasaan yang tidak menentu. Perasaan yang tidak bisa aku pastikan apa itu, batinku berbisik
“dia terlalu baik sebagai seorang yang mungkin menyukaiku,pantaskah dia menjadi milikku kelak? Dengan kesempurnaan yang dia miliki”
Aku selalu merasa buruk dalam pandangannya, mengagunggkan mutiara-mutira hidayah yang di ucapkannya. Namun jauuh didalam sana ada mahluk kecil yang meronta, melawan kenyataan yang dinyatakan oleh mata dan telinga, juga otak yang menilai membenarkan pernyataan itu
“bagai mana bisa kau menyebutnya seorang yang baik, hanya dengan mengagumi cara berpakaiannya, kata-kata dan tingkah laku yang hanya bisa kau lihat satu setengah jam di perpustakaan dari 24 jam kesehariannya?”
Mahluk bernama keraguan ini semakin meraja lela. Menciptakan banyak pertanyaan untuk masalalunya. Dengan hati yang dikuasai sepenuhnya oleh keraguan, disana muncul seorang pahlawan. Walaupun dia tidak bisa menolak keinginan keraguan, namun setidaknya pahlawan yang biasa dipanggil sopan santu ini dapat membatasi pertanyaan-pertanyaan kasar yang akan diajukan oleh raja keraguan.
Di waktu yang telah direncanakan...
“apa sekolah menengah atasmu mewajibkan menggunakan jilbab?”
“aku mengeti maksudmu, aku tidak menggunakan jilbab saat SMA”
Segelintir alasan dia ajukan. Namun apapun alasannya, bathinku tidak menerima alasan itu. Hanya kata-kata halus yang biasanya mengungkapkan mutiara-mutiara hidayah itu kunikmati kemerduannya menari di daun telingku. Masih belum puas dengan apa yang ia dapat, raja keraguan kembali memerintahkan untuk bertanya mengenai keluarganya, kisah cintanya dan sedikit keperibadiannya.
Semua penjelasan panjang lebarnya membuat raja keraguan puas. Namun kekuatan penguasa lain muncul meruntuhkan kekuasaan keraguan. Menciptakan sebuah istana kekecewaan didalm hati. Rasa angkuhpun muncul mengiringinya, perasaan menolak dan tidak menginginkannya lambat laun semakin kuat. Hingga akhirnya suatu waktu, sepercik harapan muncul dari sebuah kata
“aku mencintaimu”
Melumpuhkan segala keangkuhan dan penolakan. Mengingatkan kembali pada kata-kata mutiara yang sempat hilang ditelan keangkuhan. Kata yang menjadi penguasa baru didalam hati, penguasa yang membatasi tindakan, kata, langkah kaki, pandangan juga kemauanku.
Walaupun dia telah membangun sebuah istana di dalam hatiku. Namun sebuah ruangan dibalik pintu kecil yang bergantungkan tulisan cinta di atasnya dan telah ia tata rapi setiap hari, belum dapat aku buka untuknya. Karena pintu ini tidak dibuka untuk sekarang. Tapi dibuka untuk suatu saat, jika aku telah siap membukanya.
Kupacu langkah kakiku semakin cepat, tidak berlari tidak juga berjalan. Perasaan ku sudah tidak menentu, penuh tanda tanya, kata apa yang akan aku lantunkan dikesempatan sepersekian detik di 24 jam hari ini.
Kutundukkan kepalaku, menyembunyikan wajahku dari senyumannya yang kadang kuartikan dengan kekecewaan, atau kadang senyuman itu terlihat seperti harapan, dan satu jenis senyuman yang selalu akunantikan, senyum tulus penuh kebahagiaan. Sayangnya hanya sepersepuluh dari satu sepersekian detik waktu berpapasan lah aku bisa menemukan senyum itu.
Langkah menuju titik pertemuan antara garis vertikal dan herizontal semakin dekat. Langkah-langkah lembut kecil tanpa suara membuatku tidak dapat memperkirakan kapan kami akan bertemu di titik itu. Dalam pandanganku yang terarah pada ibu jari, mustahil untuk kumelihat sekitar dengan jelas. Sehingga pertemuan itu terasa begitu lama dalam jarak kurang lebih dua meter ini.
Penasaran memaksaku membebaskan pandanganku, memastikan kapan kami akan bertemu di titik itu. Kulirik kerahnya, memperjelas alasan mengapa kami tidak bertemu di titik itu. Dia berhenti disana, membiarkaku lewat dengan senyuman terukir diwajahnya. Akupun berhenti mencari tahu alasan keberhentiannya,
“Hendak kemana kamu? Sudah tiba waktu zuhur”
“silahkan kamu duluan saja, sampaikan salamku pada Allah! Aku masih ada kelas”
Kulanjutkan langkahku, melintas dihadapanya. Sesaat kemudian dia melintas dibelakangku meneruskan langkahnya yang terhenti entah kenapa?
Sesaat kuteringat akan pesannya, “sampaikan salamku pada Allah”. Bagaimana aku harus mengatakanya, “assalamu’alaika ya Allah, assalamualaikum ya rabb?” tak juga terasa akur dilisanku. Bagaimana akau harus mengatakannya? Logika mulai berbicara, “salam biasa disampaikan kepada manusia mahluk ciptaan Allah, bagiman caranya menyampaikan salam kepada pemberi keselamatan? Apakah ada yang akan memberikan keselamatan pada yang memberikan keselamatan?” Pesan sederhana yang memaksaku memutar balikkan otak. Perang logika dan kenyataan dalam kepalaku mengiringi langkah-langkah teriring senyuman kepergianku ke masjid Dzuhur itu.
- - -
Entah kapan ini berawal, semua terjadi begitu saja. Kata demi katanya, terkadang membuat pertempuran-pertempuran kecil dalam hatiku. Walaupun akhirnya dapatku damaikan, kata berikutnya akan datang dan memicu pertempuran lagi.
“Apakah kamu sholat 5 waktu?”
“astaghfirullah, kenapa kau ajukan pertanyaan seperti ini? Seburuk apa pandanganmu terhadapku, sungguh pertanyaan ini menghancurkanku”
“Kenapa kamu bertanya seperti itu? Iya aku sholat 5 waktu”
Secara panjang lebar dijelaskannya fakta dan bukti yang menunjukkan bahwa pernyataanku tidak benar, membuatku semakin terpojok dan hanya tertunduk memandangi ukiran-ukiran yang tumpah dari pulpenku.
“setiap orang islam baligh sholat lima waktu, kalau tidak sholat, secara inplisit diragukan keislamannya” Kata-kata yang bisa meledak kapan saja dalam bentuk omelan ini berhasil kupedam dalam hati. Yang bisa kulakukan hanyalah mengalihkan pembicaraan agar situsi tidak semakin buruk. Hingga akhirnya bel tanda perpustakaan akan segera ditutup memaksa mengakhiri percakapan yang membuatku setiap hari mengunjungi perpustakaan pengundang kantuk ini. Berharap dia ada didalamnya untuk menunjukkan sepersepuluh dari sepersekian detik senyuman tulus di wajahnya.
Disaat lain aku sadar dan mengerti maksud dari kata-kata beroleskan balsam yang bersarang lekat diotakku. ”aku bukanlah orang yang baik, benar saja dia bertanya demikian, faktanya shalatku tidak selalu tepat waktu, faktanya sholatku tidak selalu dimasjid. Benarsaja dia tidak salah, aku bukan orang baik. Aku tidak tau benarkah sudah sholatku ini, aku tidak tau benarkah yang akulakukan ini? Dia benar, dia benar bertanya seperti itu”. Gumanku dalam hati.
Kata-kata yang mendobrak keangkuhan yang ada dalam diriku. Aku yang merasa sudah cukup dengan menjaga sholat lima waktu. Kini mersa terkubur dalam kekurangan-kekurangan yang harus segera aku perbaiki. Termasuk pertanyaannya yang selanjutnya,
“pernahkah kamu sholat tahajud?”
Memang memukul, faktanya aku sering melakukannya. Namun itu dulu, kuhabiskan 1-2 juz dalam sholat malamku. Sekarang, “astaghfirullah” aku tidak seperti itu lagi. Seperti sebelumnya pertempuran dalam hatiku, dimenangkan oleh kata Mutiara pembuka pintu Hidayah yang tak ternilai harganya.
- - -
Di tempat yang sama, disaat yang lain,
“Jika kuperhatikan kamu sering membantu orang, terutama wanita kenapa?”
“astaghfirullah, aku tidak tahu kalu ada sepasang mata lain yang mengawasiku selain Dia yang maha melihat dan utusannya. Semoga tidak menjadi fitnah”
“Karena aku tidak ingin terlihat buruk dimata orang lain, dimata teman-temanku. Aku selalu berusaha menjadi orang baik bagi mereka. Aku tidak ingin mereka berdosa membicarakan keburukan ku dibelakangku”
Dan berbagai alasan kuutarakan yang aku rasa yang akulakukan benar.
“tidak tahukah kau, kalu kebaikanmu pada orang bisa dimanfaatkan oleh orang lain?”
Satu kalimat yang mematahkan segala kekuatan tulusku. Hal yang tak pernah terpikirkan sedikitpun dalam benaku sebelummnya walaupun hanya terbesit sesaat. Pertempuran kecil antara membenarkan dan menyalahkan kata-katanya terjadi lagi di hatiku dan berakhir sama seperti sebelumnya. Aku tidak membantah sedikitpun mutiara itu. Lagi-lagi aku membenarkan kata-katanya.
Sura peringatan bel perpustakaan yang ketiga akhirnya menegakkan kaki-kaki kami beranjak meninggalkan perpustakaan. Langkahku berat, kuturuni anak demi anak tangga dengan perlahan. Aku merasa penuh keburukan dimatanya. Membiarkannya berjalan didepanku, menyembunyikan kebingungan dan kekahawatiran yang jelas terpancar diwajahku.
Entah kapan, entah mengapa berawal. Mutiara-mutiara itu selalu mengiang-ngiang diotaku. Membatasi tindakan, kata, langkah kaki, pandangan juga kemauanku. Namun keadaan itu tidak berlangsung lama. Sebuah teguran hinggap selang beberapa hari setelah kunikmati hidup dengan sikap yang tak pernah aku kembangkan sebelumnya, “Cuek”.
“mengapa kamu bersikap cuek?” di depan perpustakaan
“karena sorang menyarankanku begitu” jawabku
“ma’af sebelumnya, aku menjadi tidak enak sama kamu. Tidak mengapa bersikaplah seperti biasa! Aku menjadi merasa bersalah”
“tidak mengapa, aku melakukannya karna kemauanku sendiri” “aku melakukannya atas kemauanku sendiri karena saran darimu” ku sah kan kalimatku dalam hati.
Biarpun telah di peringatkan, menarik kata-katanya kembali. Tetap saja nasi telah menjadi bubur, mutiara-mutira indah itu membatasi tindakan, kata, langkah kaki, pandangan juga kemauanku. Pribadi baru yang takpernah aku kembangkan, bahkan aku tidak pernah ingin menjadi pribadi itu. Suatu kekuatan yang menumbangkan gunung keangkuhan. Kekuatan yang mencairkan kutub yang beku. Kekuatan yang menjadikan semuanya memungkinkan.
- - -
Disebuah ruang kecil yang telah lama ditinggalkan pemiliknya dengan porak poranda. Perlahan tersusun rapi, tertata lebih indah dari sebelumnya. Bukan dengan sentuhan tangan atau sedikit keringat atas usaha merapikannya. Atau sebuah masker yangku pasang melindungi pernapasanku untuk membersihkan tempat itu. Dengan sendirinya dia datang, menata kembali menjadi lebih indah. Hanya saja aku tidak bisa dengan mudah membiarkannya tinggal disana. Dibalik sebuah pintu kecil yang bergantung papan bertuliskan cinta di atasnya.
Waktu dengan kekejamannya membiarkan hal-hal indah berlalu dengan cepat dan menjadikan kesedihan-kesedihan berlangsung sangat lama. Disaatku nikmati tata-an baru yang berada diruang yang hampir roboh ini. Dengan perasan-perasaan yang tidak menentu. Perasaan yang tidak bisa aku pastikan apa itu, batinku berbisik
“dia terlalu baik sebagai seorang yang mungkin menyukaiku,pantaskah dia menjadi milikku kelak? Dengan kesempurnaan yang dia miliki”
Aku selalu merasa buruk dalam pandangannya, mengagunggkan mutiara-mutira hidayah yang di ucapkannya. Namun jauuh didalam sana ada mahluk kecil yang meronta, melawan kenyataan yang dinyatakan oleh mata dan telinga, juga otak yang menilai membenarkan pernyataan itu
“bagai mana bisa kau menyebutnya seorang yang baik, hanya dengan mengagumi cara berpakaiannya, kata-kata dan tingkah laku yang hanya bisa kau lihat satu setengah jam di perpustakaan dari 24 jam kesehariannya?”
Mahluk bernama keraguan ini semakin meraja lela. Menciptakan banyak pertanyaan untuk masalalunya. Dengan hati yang dikuasai sepenuhnya oleh keraguan, disana muncul seorang pahlawan. Walaupun dia tidak bisa menolak keinginan keraguan, namun setidaknya pahlawan yang biasa dipanggil sopan santu ini dapat membatasi pertanyaan-pertanyaan kasar yang akan diajukan oleh raja keraguan.
Di waktu yang telah direncanakan...
“apa sekolah menengah atasmu mewajibkan menggunakan jilbab?”
“aku mengeti maksudmu, aku tidak menggunakan jilbab saat SMA”
Segelintir alasan dia ajukan. Namun apapun alasannya, bathinku tidak menerima alasan itu. Hanya kata-kata halus yang biasanya mengungkapkan mutiara-mutiara hidayah itu kunikmati kemerduannya menari di daun telingku. Masih belum puas dengan apa yang ia dapat, raja keraguan kembali memerintahkan untuk bertanya mengenai keluarganya, kisah cintanya dan sedikit keperibadiannya.
Semua penjelasan panjang lebarnya membuat raja keraguan puas. Namun kekuatan penguasa lain muncul meruntuhkan kekuasaan keraguan. Menciptakan sebuah istana kekecewaan didalm hati. Rasa angkuhpun muncul mengiringinya, perasaan menolak dan tidak menginginkannya lambat laun semakin kuat. Hingga akhirnya suatu waktu, sepercik harapan muncul dari sebuah kata
“aku mencintaimu”
Melumpuhkan segala keangkuhan dan penolakan. Mengingatkan kembali pada kata-kata mutiara yang sempat hilang ditelan keangkuhan. Kata yang menjadi penguasa baru didalam hati, penguasa yang membatasi tindakan, kata, langkah kaki, pandangan juga kemauanku.
Walaupun dia telah membangun sebuah istana di dalam hatiku. Namun sebuah ruangan dibalik pintu kecil yang bergantungkan tulisan cinta di atasnya dan telah ia tata rapi setiap hari, belum dapat aku buka untuknya. Karena pintu ini tidak dibuka untuk sekarang. Tapi dibuka untuk suatu saat, jika aku telah siap membukanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar