Setelah mengikuti ujian akhir semester genap, seluruh mahasiswa mendapatkan libur panjang sekitar dua bulan. Namun aku tidak dapat menikmati libur sepanjang dua bulan itu karna berbagai kegiatan yang harusku lakukan. Bulan Ramadhan pun akhirnya Aku jalani di tanah orang. Hal biasa yang terjadi saat awal Ramadhan di Negeri berlambang garuda ini ialah penentuan tanggal 1 Ramadhan, Banyak opsi-opsi dari berbagai aliran yang berpendapat berbeda-beda tentang itu. Seperti kota yang aku dami dibulan suci ini sebagian masyarakatnya ada yang mulai berpuasa sehari terlebih dahulu daripada waktu yang telah dtetapkan oleh pemerintah, ingin mengkut seperti kata pepatah dimana kaki berpijak disitu lah aku berada, dengan ikut puasa terlebih dahulu, namun ayahku selalu mengajarkan untuk ikut aturan seperti yang telah ditetapkan oleh pemerintah, walaupun terkadang ada aturan pemerintah yang tidak aku taati. Ya di kota cantik Palangka Raya ini aku jalani bulan ramadhan dengan penuh kekhusyu’an walaupun ingin sekali rasanya berpuasa dikampung halaman sendiri, menikmati hawanya yang segar dengan alaminya tanah disana tanpa bangunan-bangunan yang megah seperti di kota ini yang mungkin karna itulah dinamakan kota cantik. Sholat tarawih di masjid dekat rumahku bersama saudara dan teman-temanku yang selalu aku rindukan. Berbuka puasa bersama keluarga menjadi momen yang paling akunanti-nanti.
Penantian selama dua puluh Sembilan haripun berakhir. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang meributkan tentang awal dan akhir Ramadhan, tahun ini Lebaran tampaknya akan dilakukan secara bersamaan di negeriku tercinta Indonesia ini, wlaupun ada banyak hal yang aku tidak suka. Hatiku mulai membayang-bayangkan keadaan kampungku yang telah aku tinggal selama 1 tahun kurang sedikit itu mulai saat aku mengayuh selenger mesin kendaraanku. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 3 jam, akhirnya aku sampa di Kapuas yang sebenarnya merupakn kota dari tempatku berada, aku masih harus menempuh 6 Km lagi untuk sampai kekampung halaman tempat aku dibesarkan, walaupun aku tidak dilahirkan di desa itu. Selagi aku berada di pusat perbelanjaan kota, Aku gunakan kesempatan itu untuk membeli pernak pernik khas lebaran yang tidak akan tertinggal setiaptahunnya di hidangan kelurga kami, yaitu minuman bersoda. Kulanjutkan perjalanan hingga 15 menit kemudian tibalah aku dirumah. Tidak ada hal yang berubah disekitar rumahku, hanya saja bangunan yang baru selesai berdiri disamping rumahku yang sudah mulai dibangun saat aku meninggalkan kampung sehingga aku tidak begitu terkejut saat melihatnya. Dialah tetangga baru yang pendiam.
“assalamu’alaikum” salamku didepan pintu sambil mengetukkan punggung jari tengahku ke atas pintu tersebut. Lalu kuulangi lagi setelah tidak ada jawaban yang aku harapkan terdengar.
“asslamualaikum”.. sambil menglangi hal yangku lakukan saat salam ku yang pertama. Tak berapalama terdengar suara berisik bak berlari-lari kecil menghampiri sepeda baru yang dibelikan oleh ayah untuk anaknya dari dalam rumahku seraya menjawab salamku dengan setengah berteriak. Dari langkah kakinya aku sudah tahu jika mereka akan berebut membukakan pintu untukku, ya mereka adalah dua adik mungilku yang umurnya selisih empat tahun, tapi mereka sangat menekmati masa kecilnya bersama-sama.
“wa’alakum salam, bang Irfan datang umi” teriak adik bungsuku girang saat menemukan aku yang berdir dihadapannya. Lalu mempersilahkanku untuk masuk ke rumah. Kedua adik keclku itu masing-masing Hanif dan Hasan dari yang tertua. Mereka mulai menempelkan tubuhnya padaku. Menggiringku dari depan pintu ke dalamrumah sambil mengenggam tanganku, namun bukan tanganku yang ia maksud melainkan kantong plastik yang sedangku bawa, lalu kubiarkan dia membawa kontongan plastik penuh makanan favoritnya itu yang akan membuatku leluasa menemui olang yang paling aku rindukan selama ini, dialah ibuku tercint. Langkah demilangkah ku telusuri lorong-lorong menuju kamar ibuku dan disanalah kutemui dia dengahn wajah penuh kerinduan yang mendalam, “oh irfan anakku” tuturnya seraya memeluk erat dan menjabat tanganku. Tak tertinggal ciuman kasih sayang di pipi kanan dan kiri ku, hingga terobati sudah kerinduanku pada keluarga. Hanya saja ayahandaku yang tidak dapat aku temui saat itu karena masih berada di Jakarta. Namun belum sepenuhnya terobati jika aku tidak menjumpai teman-teman satu perjuanganku dimasa SMA dulu.
Hari itu hari terakhir ramadhan, namun puasa masih berjalan seperti hari-hari biasanya. Setelah kuhabiskan segelas air putih, segeraku tinggalkan rumah untuk melaksanakan ibadah sholat maghrib di masjid yang jaraknya 500 meter dari rumah seraya berharap akan menemui teman-temanku yang biasa melaksanakan sholat berjamaah dimasjid. Namun lepas dari harapanku, tidak satupun teman-temanku yang basa sholat di masjid ada saat itu. Akupun berperasangka bahwa mereka sedang sibuk melaksanakan buka puasa dirumah sehingga tidak sempat sholat ke masjid. Maghrb itupun aku adzan, iqomat, dan sholat sendiri. Tapi sepulang dari sholat maghrib kutemui mereka nongkrong di pos kamling dekat masjid. Sedih rasanya melihat pemandangan yang mengerikan itu, padahal mereka semua sekolah agama sama seppertiku dulunya. Aku masih berharap mereka melakukan sholat di rumahnya. Sampai saat sholat isya hampir tiba, kukunjungi rumah teman-temanku yang biasa melaksanakan sholat dimasjid untuk mengajaknya kembali sholat dimasjid. Mungkin bagi sebagian orang sikapku ini aneh, tapi bagi teman-temanku itu hal yang sudah sangat biasa. Sesampainya dimasjid untuk melaksanakan sholat isya berjamaah, satu hal lagi yang membuatku sangat kecewa. Seisi masjid itu dipenuhi dengan jamaah anak-anak semuanya, tidak ada satupun orang dewasa yang akan mengimami sholat isya tersebut. Karna kebetulan aku hadir disitu, maka akulah yang menjadi imamnya. Selesai sholat isya, ku tahan sejenak teman-temanku yang ingin segera pulang untuk memeriahkan malam idul fitri, untukku ajukan beberpa pertanyaan yang membuatku benar-benar penasaran.
Semua mulai duduk melingkar seperti yang telah aku instruksikan. Jadilah kami seperti konsfrensi bundar tanpa meja di dalam tempat yang paling mulia dikampung halamanku, sebut saja Anjir. Kami mulai saling bercerita tentang keadaan kami selagi kami terpisah, dengan bahasa kampungku yang khas, membuat wajah-wajah lelah mengerjakan puasa sebulan penuh menjadi muka yang penuh dengan pancaran cahaya kegembraan. Perkumpulan seperti ini sudahbiasa kami lakukan saat kami sekolah setingkat SMA dahulu, sepulang sekolah kami langsung menuju satu-satunya masjid di kampung kami itu dan melaksakan sholat juhur berjamaah, setelah sholat juhur kami mulai berkumpul untuk sharing tentang masalah sekolah, agama, wanita dan apa pun yang ingin kami ungkapkan. Setelah cukup kurasa mendengar curhat-curhat mereka yang hampir meluluhkan airmata, aku mulai mengutarakan maksud dan tujuanku mengumpulkan mereka kembali. Mereka pun mulai bercerita tentang kedaaan kampung selam aku tinggalkan dengan alur cerita berantakan namun saling melengkapi satu samalain, saling tuduh untuk menyalahkan karena meraka merasa menjadi pelaku yang terlibat dalam kekacauan itu.
“sungguh menyedihkan keadaan kampung saat kau tinggalkan Fan, langgar kosong anak-anak mudanya hanya bermain gitar dan catur setiap harinya, lebih parahnya lagi mereka biasa berjudi, minum-minuman keras, bahkan mereka tidak malu lagi membawa wanita secara terang-terangan ke daerah kampung sini.” Tutur salah seorang temanku
“Kalaupun ada orang dilanggar itupun hanya anaka-anak saja, aku paling. Setelah adzan dan iqomah jika tidak ada orang dewasanya kami sholat sendiri-sendiri saja. Kami tidak ada yang berani menjadi imam, imam itukan tanggung jawabnya besar” kata salah seorang temanku lagi. Aku hanya menggelengkan kepala merespon apa yang mereka sampaikan tanda ketidaksetujuanku.
“sekarang teman-teman lebih asyik dengan hand phonenya daripada mengaji tadarrusan Al-qur’an dimasjid padahal ramadhan-ramadhan sebelumnya mereka rajin mengaji kemasjid” tambah salah seorang temanku yang lainnya. Aku hanya mendengarkan dan prihatin atas apa yang terjadi, sangat berbeda dengan saat aku belum meninggalkan kampung ini dulu.
“biasanya jika kami sedang sekolah maka adzan zuhur tidak berkumandang di masjid”. ungkap temanku yang lain. Setelah puas denga segala keburukan yang mereka utarakan yang sebagian dari mereka juga terlibat dalam apa yang mereka katakana akupun langsung mengambil tindakan dengan angkat suara. Hal yang pertama yang aku sampaikan adalah agar beristighfar dan bertaubat memohon ampun kepada Allah atas apa yang telah mereka lakukan dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Mereka mulai terdiam meratapi ucapanku. Laluku lanjutkan kata-kataku,
“bermain catur, itu sungguh perbuatan yang sia-sia, coba kau gunakan untuk mengerjakan PR mu atau membaca buku-buku islami, toh sama saja menguras otak. Minum-minuman main judi? Aku yakin kalian pasti tahu apa hukumnya dan apa akibatnya jika melakukan itu. Tapi kenapa dilkukan? Lebih baik kerja membantu ayahmu membajak sawah sana!” tuturku pada mereka semua namun kuarahkan jari telunjukku dan pandanganku kepada salah seorang dari mereka yang aku tahu bahwa itulah yang ialakukan sehari-harinya. Dia hanya diam dan mengangguk-angguk.
“bagus kamu sudah memenuhi panggilan adzan kemasjid, tapi untuk apa kamu kemasjid kalo hanya sholat sendiri-sendiri akhirnya, coba lah mengalah jadi imam. Sholat dimasjid itu untuk mendirikan sholat tepat pada waktunya dan melaksanakannya secara berjamaah sesuai anjuran nabi. Nah mulai saat ini kamu yang menjadi imam jika tidak ada orang dewa yang kemasjid”. Seperti menobatkan seseorang menjadi perdana mentri. Tapi aku menunjuknya bukan sembarang tunjuk dia adalah teman sekelasku saat SMA dan aku tahu persis apa saja yang diajarkan oleh guru kami saat itu, semunya tidak lepas dari masalah agama karena aku bersekoplah di pesanteren aliyah yang sederajat SMA. Kemudian aku melanjutkan tanggapanku kepada aduan temanku yang lain nya,
“boleh saja main handphone asal tidak berlebihan, maen handphone sampai tidak tadarrusan itu sangatlah keterlaluan, satu pencetan tombol hanphone telah membuang pahala 10 kebaikan jiaka saja waktu maen hanphonemu kau gunakan untuk ngaji. Karena membaca 1 huruf dari alqur,an itu sama dengan 10 kebaikan. Coba kalua 30 huruf, kamu sudah dapat 300 kebaikan. Dan akan mendapat balasan surga. 300 pencetanmu ketombol hp akan semakin mendekatkanmu keneraka tau!” aku mulai meninggikan suaraku karena sedikit geram. Taktahan lagi rasanya aku menahan kata-kata yang sejak mereka bercerita tadi sudah bergejolak ingin aku semburkan. kemudanku lanjutkan kembali kata-kataku setelah menghela nafas beberapa saat.
“kesalahan terbesar kalian adalah membiarkan adzan tidak berkumandang dimasjid. Itu kesalahn fatal. Lebih baik robohkan saja masjidnya, sholat dirumah masing-masing. Toh ada masjid juga tidak diadzani. Bagaimana kampung mau makmur orang jantungnya tidak dihidupkan. Masjid itu jantungnya kampung, kalo masjidnya makmur maka tidak adalagi kemaksiatan dimana-mana. Orang-orang akan berbondong-bondong kemasjid, orang tua anak kecil pokoknya semuanya. Nah untuk itu kita yang muda-muda ini yang mempeloporinya. Kaliankira para pejuang mewariskan kemerdekaan hanya untuk membuat kita bebas mainjudi, minum-minuman, pacaran? Tidak, mereka berharap kita dapat beribadah dengan tenang sehingga pahalanya mengalir kepada mereka, Begitu!” aku sudah seperti seorang kiayi yang meronta-ronta ditengah kerumunan maksiat untuk emnghancurkannya. Mereka hanya bias mengangguk dan menyadari kesalahan mereka. Kemudian salah seorang teman ku mengangkat suaranya
“kenapa tidak kamu saja yang melakukan semuanya? Kau datangi pintu kami satu persatu untuk ke masjid agar kami tidak lupa untuk sholat. Kau bubarkan kami saat akan maenjudi, minum-minum dan main catur? Kenapa kau malah pergi meninggalkan kami jika kau memang sayang kepada kami dan tidak ingin kami terjerumus jalan yang sesat? Kenapa?” dia mengatakannya sambil menahan isak tangisnya dan mulai menyapukan pergelangan tangannya kemata. Akupun mendekatinya dan merangkul tubuhnya lalu berkata,
“Karena aku yakin kalian biasa melakukannya tanpa aku, karna kalian adalah teman-temanku dan teman-temanku itu adalah orang-orang yang baik”. Lingkaran kamipun mulai merapat mendekati sisi temanku yang telah menjatuhkan airmata penyesalan sekligus harapnnya di tempat yang mulia itu. Malam itu akan menjadi malam yang membekas dihati setiap orang yang hadir didalam perkumpulan itu. Akan menjadi malam lebaran yang mengubah hari esok menjadi labih baik oleh sekelompok pemuda insyaf yang siap membongkar kegelapan menjadi cahaya nanterang penuh kemenangan.
Keesokan harinya setelah sholat idul fitri, ku salami sahabat-sahabat pejungku yang penuh semangat itu dan memohon ma’af saecara lahir dan batin atas segala kesalahn yang telah akulakukan terhadap mereka, baik dalam perkataanku atau dalam prbuatanku yang telah akulakukan secara disengaja maupun tidak disengaja dan mereka pun melakukan hal sebaliknya terhadapku. Setalah menundukkan kepala dihadapan ibuku yang telah mendidikku tanpa lelah, aku berpamitan kepada semua orang yang ada dikampungku melalui kedua adik manisku yang tersayang untuk sekalilagi meninggalkan kampung ini menuntut ilmu ke kota cantik palangkaraya agar berguna natinya di masyarakat.
Penantian selama dua puluh Sembilan haripun berakhir. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang meributkan tentang awal dan akhir Ramadhan, tahun ini Lebaran tampaknya akan dilakukan secara bersamaan di negeriku tercinta Indonesia ini, wlaupun ada banyak hal yang aku tidak suka. Hatiku mulai membayang-bayangkan keadaan kampungku yang telah aku tinggal selama 1 tahun kurang sedikit itu mulai saat aku mengayuh selenger mesin kendaraanku. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 3 jam, akhirnya aku sampa di Kapuas yang sebenarnya merupakn kota dari tempatku berada, aku masih harus menempuh 6 Km lagi untuk sampai kekampung halaman tempat aku dibesarkan, walaupun aku tidak dilahirkan di desa itu. Selagi aku berada di pusat perbelanjaan kota, Aku gunakan kesempatan itu untuk membeli pernak pernik khas lebaran yang tidak akan tertinggal setiaptahunnya di hidangan kelurga kami, yaitu minuman bersoda. Kulanjutkan perjalanan hingga 15 menit kemudian tibalah aku dirumah. Tidak ada hal yang berubah disekitar rumahku, hanya saja bangunan yang baru selesai berdiri disamping rumahku yang sudah mulai dibangun saat aku meninggalkan kampung sehingga aku tidak begitu terkejut saat melihatnya. Dialah tetangga baru yang pendiam.
“assalamu’alaikum” salamku didepan pintu sambil mengetukkan punggung jari tengahku ke atas pintu tersebut. Lalu kuulangi lagi setelah tidak ada jawaban yang aku harapkan terdengar.
“asslamualaikum”.. sambil menglangi hal yangku lakukan saat salam ku yang pertama. Tak berapalama terdengar suara berisik bak berlari-lari kecil menghampiri sepeda baru yang dibelikan oleh ayah untuk anaknya dari dalam rumahku seraya menjawab salamku dengan setengah berteriak. Dari langkah kakinya aku sudah tahu jika mereka akan berebut membukakan pintu untukku, ya mereka adalah dua adik mungilku yang umurnya selisih empat tahun, tapi mereka sangat menekmati masa kecilnya bersama-sama.
“wa’alakum salam, bang Irfan datang umi” teriak adik bungsuku girang saat menemukan aku yang berdir dihadapannya. Lalu mempersilahkanku untuk masuk ke rumah. Kedua adik keclku itu masing-masing Hanif dan Hasan dari yang tertua. Mereka mulai menempelkan tubuhnya padaku. Menggiringku dari depan pintu ke dalamrumah sambil mengenggam tanganku, namun bukan tanganku yang ia maksud melainkan kantong plastik yang sedangku bawa, lalu kubiarkan dia membawa kontongan plastik penuh makanan favoritnya itu yang akan membuatku leluasa menemui olang yang paling aku rindukan selama ini, dialah ibuku tercint. Langkah demilangkah ku telusuri lorong-lorong menuju kamar ibuku dan disanalah kutemui dia dengahn wajah penuh kerinduan yang mendalam, “oh irfan anakku” tuturnya seraya memeluk erat dan menjabat tanganku. Tak tertinggal ciuman kasih sayang di pipi kanan dan kiri ku, hingga terobati sudah kerinduanku pada keluarga. Hanya saja ayahandaku yang tidak dapat aku temui saat itu karena masih berada di Jakarta. Namun belum sepenuhnya terobati jika aku tidak menjumpai teman-teman satu perjuanganku dimasa SMA dulu.
Hari itu hari terakhir ramadhan, namun puasa masih berjalan seperti hari-hari biasanya. Setelah kuhabiskan segelas air putih, segeraku tinggalkan rumah untuk melaksanakan ibadah sholat maghrib di masjid yang jaraknya 500 meter dari rumah seraya berharap akan menemui teman-temanku yang biasa melaksanakan sholat berjamaah dimasjid. Namun lepas dari harapanku, tidak satupun teman-temanku yang basa sholat di masjid ada saat itu. Akupun berperasangka bahwa mereka sedang sibuk melaksanakan buka puasa dirumah sehingga tidak sempat sholat ke masjid. Maghrb itupun aku adzan, iqomat, dan sholat sendiri. Tapi sepulang dari sholat maghrib kutemui mereka nongkrong di pos kamling dekat masjid. Sedih rasanya melihat pemandangan yang mengerikan itu, padahal mereka semua sekolah agama sama seppertiku dulunya. Aku masih berharap mereka melakukan sholat di rumahnya. Sampai saat sholat isya hampir tiba, kukunjungi rumah teman-temanku yang biasa melaksanakan sholat dimasjid untuk mengajaknya kembali sholat dimasjid. Mungkin bagi sebagian orang sikapku ini aneh, tapi bagi teman-temanku itu hal yang sudah sangat biasa. Sesampainya dimasjid untuk melaksanakan sholat isya berjamaah, satu hal lagi yang membuatku sangat kecewa. Seisi masjid itu dipenuhi dengan jamaah anak-anak semuanya, tidak ada satupun orang dewasa yang akan mengimami sholat isya tersebut. Karna kebetulan aku hadir disitu, maka akulah yang menjadi imamnya. Selesai sholat isya, ku tahan sejenak teman-temanku yang ingin segera pulang untuk memeriahkan malam idul fitri, untukku ajukan beberpa pertanyaan yang membuatku benar-benar penasaran.
Semua mulai duduk melingkar seperti yang telah aku instruksikan. Jadilah kami seperti konsfrensi bundar tanpa meja di dalam tempat yang paling mulia dikampung halamanku, sebut saja Anjir. Kami mulai saling bercerita tentang keadaan kami selagi kami terpisah, dengan bahasa kampungku yang khas, membuat wajah-wajah lelah mengerjakan puasa sebulan penuh menjadi muka yang penuh dengan pancaran cahaya kegembraan. Perkumpulan seperti ini sudahbiasa kami lakukan saat kami sekolah setingkat SMA dahulu, sepulang sekolah kami langsung menuju satu-satunya masjid di kampung kami itu dan melaksakan sholat juhur berjamaah, setelah sholat juhur kami mulai berkumpul untuk sharing tentang masalah sekolah, agama, wanita dan apa pun yang ingin kami ungkapkan. Setelah cukup kurasa mendengar curhat-curhat mereka yang hampir meluluhkan airmata, aku mulai mengutarakan maksud dan tujuanku mengumpulkan mereka kembali. Mereka pun mulai bercerita tentang kedaaan kampung selam aku tinggalkan dengan alur cerita berantakan namun saling melengkapi satu samalain, saling tuduh untuk menyalahkan karena meraka merasa menjadi pelaku yang terlibat dalam kekacauan itu.
“sungguh menyedihkan keadaan kampung saat kau tinggalkan Fan, langgar kosong anak-anak mudanya hanya bermain gitar dan catur setiap harinya, lebih parahnya lagi mereka biasa berjudi, minum-minuman keras, bahkan mereka tidak malu lagi membawa wanita secara terang-terangan ke daerah kampung sini.” Tutur salah seorang temanku
“Kalaupun ada orang dilanggar itupun hanya anaka-anak saja, aku paling. Setelah adzan dan iqomah jika tidak ada orang dewasanya kami sholat sendiri-sendiri saja. Kami tidak ada yang berani menjadi imam, imam itukan tanggung jawabnya besar” kata salah seorang temanku lagi. Aku hanya menggelengkan kepala merespon apa yang mereka sampaikan tanda ketidaksetujuanku.
“sekarang teman-teman lebih asyik dengan hand phonenya daripada mengaji tadarrusan Al-qur’an dimasjid padahal ramadhan-ramadhan sebelumnya mereka rajin mengaji kemasjid” tambah salah seorang temanku yang lainnya. Aku hanya mendengarkan dan prihatin atas apa yang terjadi, sangat berbeda dengan saat aku belum meninggalkan kampung ini dulu.
“biasanya jika kami sedang sekolah maka adzan zuhur tidak berkumandang di masjid”. ungkap temanku yang lain. Setelah puas denga segala keburukan yang mereka utarakan yang sebagian dari mereka juga terlibat dalam apa yang mereka katakana akupun langsung mengambil tindakan dengan angkat suara. Hal yang pertama yang aku sampaikan adalah agar beristighfar dan bertaubat memohon ampun kepada Allah atas apa yang telah mereka lakukan dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Mereka mulai terdiam meratapi ucapanku. Laluku lanjutkan kata-kataku,
“bermain catur, itu sungguh perbuatan yang sia-sia, coba kau gunakan untuk mengerjakan PR mu atau membaca buku-buku islami, toh sama saja menguras otak. Minum-minuman main judi? Aku yakin kalian pasti tahu apa hukumnya dan apa akibatnya jika melakukan itu. Tapi kenapa dilkukan? Lebih baik kerja membantu ayahmu membajak sawah sana!” tuturku pada mereka semua namun kuarahkan jari telunjukku dan pandanganku kepada salah seorang dari mereka yang aku tahu bahwa itulah yang ialakukan sehari-harinya. Dia hanya diam dan mengangguk-angguk.
“bagus kamu sudah memenuhi panggilan adzan kemasjid, tapi untuk apa kamu kemasjid kalo hanya sholat sendiri-sendiri akhirnya, coba lah mengalah jadi imam. Sholat dimasjid itu untuk mendirikan sholat tepat pada waktunya dan melaksanakannya secara berjamaah sesuai anjuran nabi. Nah mulai saat ini kamu yang menjadi imam jika tidak ada orang dewa yang kemasjid”. Seperti menobatkan seseorang menjadi perdana mentri. Tapi aku menunjuknya bukan sembarang tunjuk dia adalah teman sekelasku saat SMA dan aku tahu persis apa saja yang diajarkan oleh guru kami saat itu, semunya tidak lepas dari masalah agama karena aku bersekoplah di pesanteren aliyah yang sederajat SMA. Kemudian aku melanjutkan tanggapanku kepada aduan temanku yang lain nya,
“boleh saja main handphone asal tidak berlebihan, maen handphone sampai tidak tadarrusan itu sangatlah keterlaluan, satu pencetan tombol hanphone telah membuang pahala 10 kebaikan jiaka saja waktu maen hanphonemu kau gunakan untuk ngaji. Karena membaca 1 huruf dari alqur,an itu sama dengan 10 kebaikan. Coba kalua 30 huruf, kamu sudah dapat 300 kebaikan. Dan akan mendapat balasan surga. 300 pencetanmu ketombol hp akan semakin mendekatkanmu keneraka tau!” aku mulai meninggikan suaraku karena sedikit geram. Taktahan lagi rasanya aku menahan kata-kata yang sejak mereka bercerita tadi sudah bergejolak ingin aku semburkan. kemudanku lanjutkan kembali kata-kataku setelah menghela nafas beberapa saat.
“kesalahan terbesar kalian adalah membiarkan adzan tidak berkumandang dimasjid. Itu kesalahn fatal. Lebih baik robohkan saja masjidnya, sholat dirumah masing-masing. Toh ada masjid juga tidak diadzani. Bagaimana kampung mau makmur orang jantungnya tidak dihidupkan. Masjid itu jantungnya kampung, kalo masjidnya makmur maka tidak adalagi kemaksiatan dimana-mana. Orang-orang akan berbondong-bondong kemasjid, orang tua anak kecil pokoknya semuanya. Nah untuk itu kita yang muda-muda ini yang mempeloporinya. Kaliankira para pejuang mewariskan kemerdekaan hanya untuk membuat kita bebas mainjudi, minum-minuman, pacaran? Tidak, mereka berharap kita dapat beribadah dengan tenang sehingga pahalanya mengalir kepada mereka, Begitu!” aku sudah seperti seorang kiayi yang meronta-ronta ditengah kerumunan maksiat untuk emnghancurkannya. Mereka hanya bias mengangguk dan menyadari kesalahan mereka. Kemudian salah seorang teman ku mengangkat suaranya
“kenapa tidak kamu saja yang melakukan semuanya? Kau datangi pintu kami satu persatu untuk ke masjid agar kami tidak lupa untuk sholat. Kau bubarkan kami saat akan maenjudi, minum-minum dan main catur? Kenapa kau malah pergi meninggalkan kami jika kau memang sayang kepada kami dan tidak ingin kami terjerumus jalan yang sesat? Kenapa?” dia mengatakannya sambil menahan isak tangisnya dan mulai menyapukan pergelangan tangannya kemata. Akupun mendekatinya dan merangkul tubuhnya lalu berkata,
“Karena aku yakin kalian biasa melakukannya tanpa aku, karna kalian adalah teman-temanku dan teman-temanku itu adalah orang-orang yang baik”. Lingkaran kamipun mulai merapat mendekati sisi temanku yang telah menjatuhkan airmata penyesalan sekligus harapnnya di tempat yang mulia itu. Malam itu akan menjadi malam yang membekas dihati setiap orang yang hadir didalam perkumpulan itu. Akan menjadi malam lebaran yang mengubah hari esok menjadi labih baik oleh sekelompok pemuda insyaf yang siap membongkar kegelapan menjadi cahaya nanterang penuh kemenangan.
Keesokan harinya setelah sholat idul fitri, ku salami sahabat-sahabat pejungku yang penuh semangat itu dan memohon ma’af saecara lahir dan batin atas segala kesalahn yang telah akulakukan terhadap mereka, baik dalam perkataanku atau dalam prbuatanku yang telah akulakukan secara disengaja maupun tidak disengaja dan mereka pun melakukan hal sebaliknya terhadapku. Setalah menundukkan kepala dihadapan ibuku yang telah mendidikku tanpa lelah, aku berpamitan kepada semua orang yang ada dikampungku melalui kedua adik manisku yang tersayang untuk sekalilagi meninggalkan kampung ini menuntut ilmu ke kota cantik palangkaraya agar berguna natinya di masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar