Di suatu sekolah agama, di sebuah desa pinggiran kota yang tidak terlalu jauh tertinggal dengan perkembangan jaman. Ada seorang guru yang sangat terkenal dengan nasihat-nasihat bijaknya. Berbeda dengan sekolah pada umumnya, sekolah agama Nahdlatussalam ini tidak terlalu ketat dalam kedisiplinan namun sangat menuntut atas kesadaran diri pelajar masing-masing. Hal ini membuat sebagian anak semena-mena dengan waktu kedatangannya ke sekolah. Bahkan ada sebagian anak yang biasa bolos sekolah.
Suatu hari guru yang bernamakan lengkap Qomarudin ini telah mengajar dalam sebuah kelas yang disana terdapat seorang murid yang sangat malas. Teman-temannya memanggilnya Hadi sipemalas. Karena ia selalu berkata aku malas atau aku tidak biasa untuk setiap perintah yang diberikan kepadanya. Hadi bukanlah anak yang bodoh, dia jenius namun sayangnya kejeniusannya itu tidak begitu populer dikalangan orang banyak. Saat itu ia menginjak kelas dua Aliyah sederajat, namun berangkat sekolah selalu berjalan kaki disamping teman-temannya yang berangkat sekolah dengan kendaraan. Sudah itu dengan sendal pula, padahal rumahnya jauh dari sekolah. Bukan karena Hadi tidak punya sepeda, ditambahlagi jalan yang dilaluinyapun becek. Melihat sikapnya itu, sang guru yang biasa disapa dengan pak Qomar itu pun tertarik untuk menanyakan mengapa ia berbuat demikian? Lantas Hadi menjawab dengan tegasnya,
“Pak guru, saya berjalan kaki kesekolah karena saya malas mengendarai sepeda kesekolah. Itu karena saya malas untuk memasang rantai sepeda yang selalu lepas, dan itu membuat baju saya kotor sehingga Ibu saya memarahi saya sa’at mencuci baju saya. dan saya pergi kesekolah dengan sendal karena sepatu saya yang kotor dan saya malas untuk membersihkannya lagi pula memasang sepatu itukan lama karna saya harus mengikat talinya terlebih dahulu”.
Mmendengar ucapan muridnya guru yang terkenal dengan nasihat-nasihatnya itu berkata.
“apa kamu merasa senang dengan perbuatanmu itu?” Tanya sang guru. Kemudian Hadi menjawab,
“sejujurnya saya ingin sekali naik sepeda pergi kesekolah, dan ingin sekali memakai sepatu saya ketika kesekolah, tapi karena saya tidak ingin dimarahi orang tua, saya lebih baik berjalan kaki dengan sendal saja”. Mendengar pernyataan muridnya itu pak Qomar merasa prihatin dan berniat menolongnya. Tentu saja pertolongan pak Qomar ini bukan berupa materi atau uang, namun pak Qomar membantu dengna memberkan sebuah pelajaran,
“guru punya obat untuk mu Hadi”.
“apa itu guru, tolong cepat katakan!” spontan hadi menjadi penasaran apa yang ingin pak Qomar sampaikan
“sepulang sekolah nant, carilah pohon pisang yang tinggi batangnya, buahnya besar, daunnya kecil dan memiliki tundun besar!”
“Kemudian pak guru?” lanjut Hadi, kerutan alis mata Hadi yang saling mendakat ditambah tatapannya yang tajamnya terhadap pak Qomar melukiskan sebuah antusiasme yang besar di wajahnya, dengan harapan malasnya akan benar-benar terobati.
“ kamu cari sajalah dulu, jika kamu sudah menemukannya, baru bapa kasih tahu langkah selanjutnya.” Kata pak guru itu dengan mantap, “Tentunya kamu tidak boleh malas untuk mendapatkannya” tambah pak Qomar lagi.
Sepulang dari sekolah, dengan tergesa gesa Hadi melemparkan tasnya kepelataran rumah. Setelah mengganti seragam sekolahnya, Hadi mengambil pisau dan langsung pergi untuk mencari pohon pisang seperti yang dikatakan oleh gurunya tanpa berpamitan dengan kedua orang tuanya.
Dengan berjalan kaki Hadi mengelilingi kebun-kebun didesa mencari pohon pisang yang dikereteriakan oleh gurunya. Hingga saat hari mulai petang barulah Hadi menemukan pohon pisang tersebut.
‘Nah inilah pohon pisang yang guru maksudkan’ bisiknya dalam hati
“ lalu selanjutnya apaya?’ tanyanya pada diri sendiri
‘karena guru hanya menyuruhku untuk mencari pohon pisang saja, jadi sebaiknya aku pulang saja, lagi pula jika pisang ini aku tebang dan aku ambil buahnya ini sangat berat dan aku tidak dapat membawanya sendiri, dtambah lagi getah pohon pisang ini akan mengotori bajuku, kasihan ibu nanti susah mencucikannya.’ Keluhnya
Hadi pun pulang setelah mengetahui letak pohon pisang seperti yang dikatakan oleh pak Qomar.
Keesokan harinya Hadi kembali kepada pak Qomar dan menanyakan lagi langkah apa yang harus ia lakukan selanjutnya setelah mendapatkan pohon pisang tersebut,
“pak guru, saya sudah menemukan pohon pisang seperti yang engkau katakan, lalu apa yang harus saya perbuat kemudian?” kata Hadi dengan wajah penasaran. Lalu pak Qomar berkata
“tebanglah pohon pisang itu lalu ambil buah pisang beserta tundunnya, kemudian pisahkan buah pisang dari tundunnya, ingat jangan sampai tundunnya rusak karena itu sangat penting demi kemanjuran obatnya”. Kata pak Qomar dengan wajah yang mantap dan akan meyakinkan bagi siapa saja yang mendengarkannya.
“lalu pak guru, apa yang akan saya makan sebagai obat”, tanya Hadi semakin penasaran.
“Itu belum selesai Hadi, besok bawalah tundun pisang itu kesekolah, aku akan memberinya beberapa mantera”, kata pak Qomar
“baiklah pak guru, besok akan saya bawakan tundun pisangnya”.
Disisi lain tempat itu, ternyata ada teman-teman Hadi yang juga mendengarkan percakapan Hadi dengan pak Qomar
“Padu, sepertinya pak Qomar akan memberikan obat malas kepada Hadi si pemalas itu, aku khawatir obat itu benar-benar mujarab dan akan merubah Hadi menjadi orang yang rajin”.
“Bagus kan jika Hadi menjadi rajin, kita bisa memanfaatkan kepintarannya untuk mengerjakan PR Jul”.
“ya memang bagus kalau begitu, tapi aku tidak ingin disebut pemalas, hanya karena Hadi sudah tidak lagi menjadi pemalas. Selama ini kan Hadi yang menjadi tameng sehingga aku tidak disebut sebagai pemalas”.
“kamu benar, kalau begitu apa yang harus kita lakukan Jul?”
‘kita harus memberi tahu teman-teman yang lain, aku yakin meraka juga ingin obat malas yang akan diberikan oleh pak Qomar”
“tentu saja mereka mau, siapa yang ingin jadi pemalas Jul?, kalau begitu segera kita beritahu teman-teman yang lain”.
Beranjak dari persembunyiannya Ijul dan Padu menghampiri teman-teman sekelasnya yang kesemuanya adalah laki-laki, karena Sekolah ini sekolah islam maka kelas laki-laki dan perempuan dibedakan. Suara gaduh yang hebatpun langsung melanda kelasa itu seketika, setelah mendengar kabar yang dibawakan oleh Ijul dan Padu mengenai perbincangan pak Qomar dan Hadi. Tidakhanya didalam kelas, kabar tentang obat malaspun tersebar luas, hinga kekelas tiga disekitar kelas Hadi. Seketika Hadi menjadi perbincangan hangat dimana-mana tentang usahanya untuk mendapatkan obat yang mustahil ada itu. Gelar pemalaspun hampir tak terdengar lagi.
Suara gaduh dikelaspun akhirnya berhenti setelah pak Qomar memasuki kelas dan memberikan pelajaran seperti biasa. Di akhir pelajaran pak Qomar memberikan pekerjaan rumah. Padahal tidak biasa pak Qomar memberikan pekerjaan rumah.
Sepulang sekolah Hadi segera pergi ketempat pohon pisang yang telah ia temukan kemarin, dan segera menebangnya tanpa basa-basi lagi dan melakukan seperti apa yang diperintahkan oleh gurunya yaitu memisahkan pisang dari tundunnya tanpa merusak tundun pisang tersebut. ‘guru menyuruhku untuk membawa tundun kesekolah, berarti tundun inilah obatnya’ bisik Hadi dalam hati. ‘untuk apa juga pisang ini, hanya akan memberatkanku’. Hadi pun pergi dengan meninggalkan pisang-pisang matang berserakan dibawah pohon tebangannya. Hanya tundun besar pisang ambon yang dibawa Hadi pulang karena memang itu saja yang ia perlukan.
Keesokan harinya Hadi telah sampai sekolah terlebih dahulu dari teman-temannya agar teman-temannya tdak tahu kalou ia membawa tndun pisang. Namun Hadi terkejut melihat teman-temannya yang satu persatu dating juga membawa tundun-tundun pisang. ‘jangan-jangan mereka juga pemalas, jadi ingin meminta obat pemalas dengan pak Qomar’. Pikir Hadi dalam hati. Kemudian Hadi mulai berguman dalam hati ‘mengapa teman-temanku yang juga pemalas ini menyebutku si pemalas, sungguh tidak tahu malu’. katanya
Tadak lama waktu berjalan, bel tanda masuk kelaspun berbunyi. Kebetulan hari itu jam pelajaran pertama diisi oleh pak Qomar. Setelah menunggu beberapa saat akhirnya pak Qomar masuk kedalam kelas. Melihat murid-muridnya yang kesemuanya membawa tundun pisang pak Qomar hanya tersenyum dan langsung menayakan tugas rumah yang di berikan kemaren hari.
“silahkan kumpulkan pekerjaan rumah kalian!”. Kata pak Qomar dengan tenang. Murid-murid pun saling memandang satu sama lain dengan bingung dan takut. Di tengah-tengah kebingungan itu Hadi berdiri seorang diri mengantarkan tugasnya kepada Pak Qomar. Saat hendak duduk kembali, pak Qomar Menahannya. “Tunggu dulu Hadi, kamu tetap berdiri didepan sini untuk menemani bapak!”. “baik Pa” jawab Hadi ramah.
Pak Qomar berpaling dari Hadi dan menghadap kepada murid-murid yang lain “apa tidak ada lagi yang mengerjakan tugas selain Hadi?” Tanya pak Qomar mulai garang. Para murid semua terdiam pertanda iya. Lalu pak Qomar memanggil Padu maju kedepan kelas dan mengintrogasinya.
“Padu, apa bapa kemaren telah memberi pekerjaan rumah untuk kalian?”
“ Benar pak, bapak telah member kami tugas rumah untuk kami”
“lalu kenapa kamu tidak mengerjakannya?”
“kami sibuk mencari tundun pisang seperti yang telah bapak syaratkan kepada Hadi, sebagi obat malas”
“ ooh begitu,” sahut pak Qomar sembari tersenyum tipis. “jadi kalian juga ingin obat malas. Tapi bukan kah Hadi yang si pemalas. Mengapa kalian juga ikut mencari tundun pisang?. Obat ini hanaya akan berguna untuk orang-orang yang benar-benar pemalas.” Sambung pak Qomar
“Justru itu pak, kami lah yang sebenarnya pemalas. PR kami semu Hadi yang mengerjakan, hanya karena dia tidak ingin ribut mencari sandalnya saat pulang sekolah karena kami sembunyikan.”
“oh begitu” kata pak Qomar sambil mengangguk-angguk. Lalu pak Qomar mengalihkan pandangannya kepada Hadi. “Hadi Apa benar yang dikatakan Padu?”
“Iya benar pak, Saya mengerjakan Pekerjaan rumah mereka karena mereka akan menyembunyikan sandal saya jika tidak saya kerjakan. Lalu kemaren saya mengerjakan PR dari bapa hanya karena saya tidak ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan bapak seperti yang bapak tanyakan kepada Padu, bahkan mungkin bapa akan membatalkan niat bapa untuk memberikan saya obat malas itu, dan saya tidak akan membiarkan hal itu terjadi”.
Pak Qomar pun tersenyum pertanda telah mengerti masalah yang dihadapinya. Lalu mempersilahkan Hadi dan Padu untuk duduk. Dan mulai mengeluarkan kata-kata bijaknya.
“bapak akan memberikan obat malas seperti yang telah bapa janjikan, nah sekarang letakkan tundun pisang kalian di depan kelas!”. Perintah pak Qomar.
Dalam sekejap tundun-tundun pisang yang semula di letakkan di bawah meja bersusun di depan kelas. Pak Qomar berjalan mendekati tundun-tundun pisang itu dan mengambil tundun pisang yang paling besar diantara tundun-tundun lainnya,
“tundun yang seperti ini yang paling mujarab untuk obat malas” kata pak Qomar “milik siapa ini?” lanjutnya lagi. Hadi dengan segera mengacungkan tangannya pertanda tundun itu miliknya.
“bagus-bagus Hadi, kau memang benar-benar akan berhenti menjadi malas” kata pak Qomar sambil mengacungkan jempolnya kearah Hadi seraya ditambah beberapa anggukan yang dilakukan secara bersamaan.
“tapi obat ini hanya akan berguna pada orang yang benar-benar malas”. Tambah pak Qomar lagi. Kemudian Pak Qomar memulai aksinya dengan mebacakan mantra-mantra secara berbisik yang tidak mungkin mantra itu akan terdengar suranya kepada oranglain disekitar. Para muridpun hanya bias terdiam dan saling memandang satu sama lain tanpa tahu apa yang sedang dibacakan oleh pak Qomar. Setelah memantrai seluruh tundun-tundun pisang yang berjejer itu satu persatu, pak Qomar mengakhiri mantranya dengan “puaaaaah, puaaah, jangan lah sampai”.
Setelah selesai dengan mantra-mantra nya, pak Qomar duduk kembali ke singgasananya untuk mulai memberikan pelajaran.
“nah sekarang ambil tundun pisang milik kalian masing-masing!” perintah pak Qomar
Satu persatu murid-murid yang menyatakan kemalasannya itu mengambil tundun pisangnya masing-masing. Kemudian kembali ketempat duduknya lagi. Sejenak kelas tampak ribut dengan diskusi murid dengan murid lainnya. Murid-murid itu tampak bingung dengan tundun pisang yang mereka bawa, bingung bagai mana cara menggunakannya. Lalu sebagian murid ada yang mengigit-gigit tundun, ada juga yang mencium-cium. Bahkan ada yang meng usap-usapkannya keseluruh tubuhnnya. Melihat hal itu pak Qomar hanya berdiam diri saja.
“ ya bapak rasa hari ini tidak perlu belajar lagi, sudah cukup pelajaran hari ini” sambil mempersiapkan dirinya untuk meninggalkan kelas.
Namun seperti biasanya sebelum keluar kelas pak Qomar memberikan kesempatan kepada murid-muridnya jika ada hal yang ingin dipertanyakan.
“ Baiklah sebelum mengakhiri kelas, ada yang ingin ditanyakan anak-anak?” kata pak Qomar.
Serentak seluruh murid mengacungkan tangannya. Di antara murid-murid yang mengacungkan tangan. Ijul yang duduk paling pojok dan paling belakang ditambah tubuhnya yang paling pendek di kelas, ia mengacungkan tangannya seraya melompat-lompat agar acungan tangannya terlihat oleh pak Qomar,
“wah sepertinya penasaran sekali, hingga kalian semua ingin bertanya sesuatu, baikalah Ijul silahkan kamu yang mewakili teman-temanmu.
“Pak, bagaimana cara kami menggunakan tundun pisang ini?”.Tanya Ijul dengan nada agak bingung.
Pak Qomar terdiam sesaat dan menundukkan kepalanya, jika dilihat dari dekat akan tampak bibr pak Qomar yang tersenyum melebar karena menahan kegeliannya, sesaat kemudian pak Qomar akhirnya mengangkat kepalnya dengan wajah yang serius dan terlihat meyakinkan lagi lalu menjawab pertanyaan Ijul,
“mudah saja” kata pak Qomar dan membiarkan beberapa saat suasana kelas menjadi hening dengan rasa yang sangat penasaran dalam kepala para muridnya. Kemudian pak Qomar mulai menyambung kalimatnya,
“berikan tundun pisang itu kepada orang tua kalian lalu katakana pada mereka, pukullah aku dengan tundun ini jika aku malas”. Mendengar jawaban pak Qomar yang mustahil seseorang akan melakukannya itu. Spontan seluruh murid terbahak-bahak tertawa, begitu juga pak Qomar yang telah menahan gelinya sejak pertama ia masuk kedalam kelas.
“Mana ada yang akan melakukan hal itu pak” kata Padu
“Tentu ada yang akan melakukannya” jawab pak Qomar,
“ia adalah orang malas yang benar-benar inigin berhenti malas”. Sambung pak Qomar lagi dengan suara agak setengah berteriak dan mumukulkan tangannya ke atas meja. Murid-murid yang mendengarnyapun spontan kaget dan langsung tidak bersuara sedikitpun. Suasana kelas kembali hening, namun bukan diliputi rasa penasaran lagi melainkan ketakutan yang sangat, karna setahu mereka pak Qomar tidak pernah melakukan hal tersebut sebelumnya. Ijul pun angkat suara dengan suara agak berat diselimuti rasa gugup yang terpancar dari wajahnya,
“kalau hanya ini jalan satu-satunya untuk berhenti malas, lebih baik aku tetap malas saja dari pada patah-patah tulangku karna tundun pisang”. Kata ijul sambil mengakhiri kalimatnya dengan sedikit cengiran diwajahnya.
Mendengar hal itu pak Qomar tampak bertambah gusar “Lebih baik patah tulang untuk berhenti malas dari pada hancur karna malas” sahut pak Qomar langsung.
Ijul pun terdiam tak dapat mengatakan apa-apa, begitu juga murid-murid yang lain.
“mungkin kamu akan saakit sekarang dengan membuang kemalasanmu itu, suatu saat nanti kamu akan merasakan hasilnya, masa mudamu yang kuat ini kamu gunakan untuk malas, tapi masa tuamu untuk kerja keras, apa tidak sebaiknya bersakit-sakitlah dahulu lalu bersenang-senang kemudian?” kata pak Qomar dengan nada meninggi dan berbicara lebih cepat, namun sangat jelas terdengar oleh murid-murid yang sedang terbungkam itu.
Tak beberapa lama setelah pak Qomar berkata seperti itu, Hadi perlahan mengacungkan tangannya.
“ya Hadi silahkan!” kata pak Qomar melihat acungan tangan Hadi pertanda ingin bertanya sesuatu.
“Lalu adakah obat malas selain ini?” dengan suara agak berat
“Tentu ada”. Jawab pak Qomar,
“Apakah itu” lanjut Hadi bertanya.
Pak Qomar menghela nafas panjang menundukkan kepalnya seolah memikirkan sesuatu atau ingin memberikan kejutan seperti sebelumnya. Beberapa saat kemudian pak Qomar mengankat kepalanya dan berkata
“Tanamkanlah dalam diri kalian bahwa AKU BUKAN PEMALAS, karna obat malas paling manjur itu ada pada diri kalian sendiri”. Kemudian pak Qomar langsung meninggalkan kelas dengan hening atas kata-kata terakhir yang ditinggalkannya.
Para murid akhirnya sadar bahwa tundun pisang bukanlah obat malas yang sebenarnya. Mereka akhirnya mengerti apa tujuan pak Qomar menyuruhnya membawa tundun pisang. Yaitu untuk memberikan obat malas yang sebenarnya untuk mereka. Obat malas yang bukan berupa materi atau mantera. Tapi berupa nasihat yang benar-benar mujarab jika benar-benar dilakukan.
Semua telah mendapatkan pelajaran dari pak Qomar hari itu. Sejak kejadian itu tidak ada lagi anak kelas dalam kelas Hadi yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah, atau menyuruh orang lain mengerjakan pekerjaan rumah, tidak ada lagi bolos sekolah, terlambat sekolah, tidak ada lagi Hadi si pemalas juga tidak ada lagi murid yang pergi kesekolah dengan berjalan kaki karena tidak ingin memasang rantai sepedanya yang seringkali lepas, semua telah sadar akan kesalahannya masing-masing.
Suatu hari guru yang bernamakan lengkap Qomarudin ini telah mengajar dalam sebuah kelas yang disana terdapat seorang murid yang sangat malas. Teman-temannya memanggilnya Hadi sipemalas. Karena ia selalu berkata aku malas atau aku tidak biasa untuk setiap perintah yang diberikan kepadanya. Hadi bukanlah anak yang bodoh, dia jenius namun sayangnya kejeniusannya itu tidak begitu populer dikalangan orang banyak. Saat itu ia menginjak kelas dua Aliyah sederajat, namun berangkat sekolah selalu berjalan kaki disamping teman-temannya yang berangkat sekolah dengan kendaraan. Sudah itu dengan sendal pula, padahal rumahnya jauh dari sekolah. Bukan karena Hadi tidak punya sepeda, ditambahlagi jalan yang dilaluinyapun becek. Melihat sikapnya itu, sang guru yang biasa disapa dengan pak Qomar itu pun tertarik untuk menanyakan mengapa ia berbuat demikian? Lantas Hadi menjawab dengan tegasnya,
“Pak guru, saya berjalan kaki kesekolah karena saya malas mengendarai sepeda kesekolah. Itu karena saya malas untuk memasang rantai sepeda yang selalu lepas, dan itu membuat baju saya kotor sehingga Ibu saya memarahi saya sa’at mencuci baju saya. dan saya pergi kesekolah dengan sendal karena sepatu saya yang kotor dan saya malas untuk membersihkannya lagi pula memasang sepatu itukan lama karna saya harus mengikat talinya terlebih dahulu”.
Mmendengar ucapan muridnya guru yang terkenal dengan nasihat-nasihatnya itu berkata.
“apa kamu merasa senang dengan perbuatanmu itu?” Tanya sang guru. Kemudian Hadi menjawab,
“sejujurnya saya ingin sekali naik sepeda pergi kesekolah, dan ingin sekali memakai sepatu saya ketika kesekolah, tapi karena saya tidak ingin dimarahi orang tua, saya lebih baik berjalan kaki dengan sendal saja”. Mendengar pernyataan muridnya itu pak Qomar merasa prihatin dan berniat menolongnya. Tentu saja pertolongan pak Qomar ini bukan berupa materi atau uang, namun pak Qomar membantu dengna memberkan sebuah pelajaran,
“guru punya obat untuk mu Hadi”.
“apa itu guru, tolong cepat katakan!” spontan hadi menjadi penasaran apa yang ingin pak Qomar sampaikan
“sepulang sekolah nant, carilah pohon pisang yang tinggi batangnya, buahnya besar, daunnya kecil dan memiliki tundun besar!”
“Kemudian pak guru?” lanjut Hadi, kerutan alis mata Hadi yang saling mendakat ditambah tatapannya yang tajamnya terhadap pak Qomar melukiskan sebuah antusiasme yang besar di wajahnya, dengan harapan malasnya akan benar-benar terobati.
“ kamu cari sajalah dulu, jika kamu sudah menemukannya, baru bapa kasih tahu langkah selanjutnya.” Kata pak guru itu dengan mantap, “Tentunya kamu tidak boleh malas untuk mendapatkannya” tambah pak Qomar lagi.
Sepulang dari sekolah, dengan tergesa gesa Hadi melemparkan tasnya kepelataran rumah. Setelah mengganti seragam sekolahnya, Hadi mengambil pisau dan langsung pergi untuk mencari pohon pisang seperti yang dikatakan oleh gurunya tanpa berpamitan dengan kedua orang tuanya.
Dengan berjalan kaki Hadi mengelilingi kebun-kebun didesa mencari pohon pisang yang dikereteriakan oleh gurunya. Hingga saat hari mulai petang barulah Hadi menemukan pohon pisang tersebut.
‘Nah inilah pohon pisang yang guru maksudkan’ bisiknya dalam hati
“ lalu selanjutnya apaya?’ tanyanya pada diri sendiri
‘karena guru hanya menyuruhku untuk mencari pohon pisang saja, jadi sebaiknya aku pulang saja, lagi pula jika pisang ini aku tebang dan aku ambil buahnya ini sangat berat dan aku tidak dapat membawanya sendiri, dtambah lagi getah pohon pisang ini akan mengotori bajuku, kasihan ibu nanti susah mencucikannya.’ Keluhnya
Hadi pun pulang setelah mengetahui letak pohon pisang seperti yang dikatakan oleh pak Qomar.
Keesokan harinya Hadi kembali kepada pak Qomar dan menanyakan lagi langkah apa yang harus ia lakukan selanjutnya setelah mendapatkan pohon pisang tersebut,
“pak guru, saya sudah menemukan pohon pisang seperti yang engkau katakan, lalu apa yang harus saya perbuat kemudian?” kata Hadi dengan wajah penasaran. Lalu pak Qomar berkata
“tebanglah pohon pisang itu lalu ambil buah pisang beserta tundunnya, kemudian pisahkan buah pisang dari tundunnya, ingat jangan sampai tundunnya rusak karena itu sangat penting demi kemanjuran obatnya”. Kata pak Qomar dengan wajah yang mantap dan akan meyakinkan bagi siapa saja yang mendengarkannya.
“lalu pak guru, apa yang akan saya makan sebagai obat”, tanya Hadi semakin penasaran.
“Itu belum selesai Hadi, besok bawalah tundun pisang itu kesekolah, aku akan memberinya beberapa mantera”, kata pak Qomar
“baiklah pak guru, besok akan saya bawakan tundun pisangnya”.
Disisi lain tempat itu, ternyata ada teman-teman Hadi yang juga mendengarkan percakapan Hadi dengan pak Qomar
“Padu, sepertinya pak Qomar akan memberikan obat malas kepada Hadi si pemalas itu, aku khawatir obat itu benar-benar mujarab dan akan merubah Hadi menjadi orang yang rajin”.
“Bagus kan jika Hadi menjadi rajin, kita bisa memanfaatkan kepintarannya untuk mengerjakan PR Jul”.
“ya memang bagus kalau begitu, tapi aku tidak ingin disebut pemalas, hanya karena Hadi sudah tidak lagi menjadi pemalas. Selama ini kan Hadi yang menjadi tameng sehingga aku tidak disebut sebagai pemalas”.
“kamu benar, kalau begitu apa yang harus kita lakukan Jul?”
‘kita harus memberi tahu teman-teman yang lain, aku yakin meraka juga ingin obat malas yang akan diberikan oleh pak Qomar”
“tentu saja mereka mau, siapa yang ingin jadi pemalas Jul?, kalau begitu segera kita beritahu teman-teman yang lain”.
Beranjak dari persembunyiannya Ijul dan Padu menghampiri teman-teman sekelasnya yang kesemuanya adalah laki-laki, karena Sekolah ini sekolah islam maka kelas laki-laki dan perempuan dibedakan. Suara gaduh yang hebatpun langsung melanda kelasa itu seketika, setelah mendengar kabar yang dibawakan oleh Ijul dan Padu mengenai perbincangan pak Qomar dan Hadi. Tidakhanya didalam kelas, kabar tentang obat malaspun tersebar luas, hinga kekelas tiga disekitar kelas Hadi. Seketika Hadi menjadi perbincangan hangat dimana-mana tentang usahanya untuk mendapatkan obat yang mustahil ada itu. Gelar pemalaspun hampir tak terdengar lagi.
Suara gaduh dikelaspun akhirnya berhenti setelah pak Qomar memasuki kelas dan memberikan pelajaran seperti biasa. Di akhir pelajaran pak Qomar memberikan pekerjaan rumah. Padahal tidak biasa pak Qomar memberikan pekerjaan rumah.
Sepulang sekolah Hadi segera pergi ketempat pohon pisang yang telah ia temukan kemarin, dan segera menebangnya tanpa basa-basi lagi dan melakukan seperti apa yang diperintahkan oleh gurunya yaitu memisahkan pisang dari tundunnya tanpa merusak tundun pisang tersebut. ‘guru menyuruhku untuk membawa tundun kesekolah, berarti tundun inilah obatnya’ bisik Hadi dalam hati. ‘untuk apa juga pisang ini, hanya akan memberatkanku’. Hadi pun pergi dengan meninggalkan pisang-pisang matang berserakan dibawah pohon tebangannya. Hanya tundun besar pisang ambon yang dibawa Hadi pulang karena memang itu saja yang ia perlukan.
Keesokan harinya Hadi telah sampai sekolah terlebih dahulu dari teman-temannya agar teman-temannya tdak tahu kalou ia membawa tndun pisang. Namun Hadi terkejut melihat teman-temannya yang satu persatu dating juga membawa tundun-tundun pisang. ‘jangan-jangan mereka juga pemalas, jadi ingin meminta obat pemalas dengan pak Qomar’. Pikir Hadi dalam hati. Kemudian Hadi mulai berguman dalam hati ‘mengapa teman-temanku yang juga pemalas ini menyebutku si pemalas, sungguh tidak tahu malu’. katanya
Tadak lama waktu berjalan, bel tanda masuk kelaspun berbunyi. Kebetulan hari itu jam pelajaran pertama diisi oleh pak Qomar. Setelah menunggu beberapa saat akhirnya pak Qomar masuk kedalam kelas. Melihat murid-muridnya yang kesemuanya membawa tundun pisang pak Qomar hanya tersenyum dan langsung menayakan tugas rumah yang di berikan kemaren hari.
“silahkan kumpulkan pekerjaan rumah kalian!”. Kata pak Qomar dengan tenang. Murid-murid pun saling memandang satu sama lain dengan bingung dan takut. Di tengah-tengah kebingungan itu Hadi berdiri seorang diri mengantarkan tugasnya kepada Pak Qomar. Saat hendak duduk kembali, pak Qomar Menahannya. “Tunggu dulu Hadi, kamu tetap berdiri didepan sini untuk menemani bapak!”. “baik Pa” jawab Hadi ramah.
Pak Qomar berpaling dari Hadi dan menghadap kepada murid-murid yang lain “apa tidak ada lagi yang mengerjakan tugas selain Hadi?” Tanya pak Qomar mulai garang. Para murid semua terdiam pertanda iya. Lalu pak Qomar memanggil Padu maju kedepan kelas dan mengintrogasinya.
“Padu, apa bapa kemaren telah memberi pekerjaan rumah untuk kalian?”
“ Benar pak, bapak telah member kami tugas rumah untuk kami”
“lalu kenapa kamu tidak mengerjakannya?”
“kami sibuk mencari tundun pisang seperti yang telah bapak syaratkan kepada Hadi, sebagi obat malas”
“ ooh begitu,” sahut pak Qomar sembari tersenyum tipis. “jadi kalian juga ingin obat malas. Tapi bukan kah Hadi yang si pemalas. Mengapa kalian juga ikut mencari tundun pisang?. Obat ini hanaya akan berguna untuk orang-orang yang benar-benar pemalas.” Sambung pak Qomar
“Justru itu pak, kami lah yang sebenarnya pemalas. PR kami semu Hadi yang mengerjakan, hanya karena dia tidak ingin ribut mencari sandalnya saat pulang sekolah karena kami sembunyikan.”
“oh begitu” kata pak Qomar sambil mengangguk-angguk. Lalu pak Qomar mengalihkan pandangannya kepada Hadi. “Hadi Apa benar yang dikatakan Padu?”
“Iya benar pak, Saya mengerjakan Pekerjaan rumah mereka karena mereka akan menyembunyikan sandal saya jika tidak saya kerjakan. Lalu kemaren saya mengerjakan PR dari bapa hanya karena saya tidak ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan bapak seperti yang bapak tanyakan kepada Padu, bahkan mungkin bapa akan membatalkan niat bapa untuk memberikan saya obat malas itu, dan saya tidak akan membiarkan hal itu terjadi”.
Pak Qomar pun tersenyum pertanda telah mengerti masalah yang dihadapinya. Lalu mempersilahkan Hadi dan Padu untuk duduk. Dan mulai mengeluarkan kata-kata bijaknya.
“bapak akan memberikan obat malas seperti yang telah bapa janjikan, nah sekarang letakkan tundun pisang kalian di depan kelas!”. Perintah pak Qomar.
Dalam sekejap tundun-tundun pisang yang semula di letakkan di bawah meja bersusun di depan kelas. Pak Qomar berjalan mendekati tundun-tundun pisang itu dan mengambil tundun pisang yang paling besar diantara tundun-tundun lainnya,
“tundun yang seperti ini yang paling mujarab untuk obat malas” kata pak Qomar “milik siapa ini?” lanjutnya lagi. Hadi dengan segera mengacungkan tangannya pertanda tundun itu miliknya.
“bagus-bagus Hadi, kau memang benar-benar akan berhenti menjadi malas” kata pak Qomar sambil mengacungkan jempolnya kearah Hadi seraya ditambah beberapa anggukan yang dilakukan secara bersamaan.
“tapi obat ini hanya akan berguna pada orang yang benar-benar malas”. Tambah pak Qomar lagi. Kemudian Pak Qomar memulai aksinya dengan mebacakan mantra-mantra secara berbisik yang tidak mungkin mantra itu akan terdengar suranya kepada oranglain disekitar. Para muridpun hanya bias terdiam dan saling memandang satu sama lain tanpa tahu apa yang sedang dibacakan oleh pak Qomar. Setelah memantrai seluruh tundun-tundun pisang yang berjejer itu satu persatu, pak Qomar mengakhiri mantranya dengan “puaaaaah, puaaah, jangan lah sampai”.
Setelah selesai dengan mantra-mantra nya, pak Qomar duduk kembali ke singgasananya untuk mulai memberikan pelajaran.
“nah sekarang ambil tundun pisang milik kalian masing-masing!” perintah pak Qomar
Satu persatu murid-murid yang menyatakan kemalasannya itu mengambil tundun pisangnya masing-masing. Kemudian kembali ketempat duduknya lagi. Sejenak kelas tampak ribut dengan diskusi murid dengan murid lainnya. Murid-murid itu tampak bingung dengan tundun pisang yang mereka bawa, bingung bagai mana cara menggunakannya. Lalu sebagian murid ada yang mengigit-gigit tundun, ada juga yang mencium-cium. Bahkan ada yang meng usap-usapkannya keseluruh tubuhnnya. Melihat hal itu pak Qomar hanya berdiam diri saja.
“ ya bapak rasa hari ini tidak perlu belajar lagi, sudah cukup pelajaran hari ini” sambil mempersiapkan dirinya untuk meninggalkan kelas.
Namun seperti biasanya sebelum keluar kelas pak Qomar memberikan kesempatan kepada murid-muridnya jika ada hal yang ingin dipertanyakan.
“ Baiklah sebelum mengakhiri kelas, ada yang ingin ditanyakan anak-anak?” kata pak Qomar.
Serentak seluruh murid mengacungkan tangannya. Di antara murid-murid yang mengacungkan tangan. Ijul yang duduk paling pojok dan paling belakang ditambah tubuhnya yang paling pendek di kelas, ia mengacungkan tangannya seraya melompat-lompat agar acungan tangannya terlihat oleh pak Qomar,
“wah sepertinya penasaran sekali, hingga kalian semua ingin bertanya sesuatu, baikalah Ijul silahkan kamu yang mewakili teman-temanmu.
“Pak, bagaimana cara kami menggunakan tundun pisang ini?”.Tanya Ijul dengan nada agak bingung.
Pak Qomar terdiam sesaat dan menundukkan kepalanya, jika dilihat dari dekat akan tampak bibr pak Qomar yang tersenyum melebar karena menahan kegeliannya, sesaat kemudian pak Qomar akhirnya mengangkat kepalnya dengan wajah yang serius dan terlihat meyakinkan lagi lalu menjawab pertanyaan Ijul,
“mudah saja” kata pak Qomar dan membiarkan beberapa saat suasana kelas menjadi hening dengan rasa yang sangat penasaran dalam kepala para muridnya. Kemudian pak Qomar mulai menyambung kalimatnya,
“berikan tundun pisang itu kepada orang tua kalian lalu katakana pada mereka, pukullah aku dengan tundun ini jika aku malas”. Mendengar jawaban pak Qomar yang mustahil seseorang akan melakukannya itu. Spontan seluruh murid terbahak-bahak tertawa, begitu juga pak Qomar yang telah menahan gelinya sejak pertama ia masuk kedalam kelas.
“Mana ada yang akan melakukan hal itu pak” kata Padu
“Tentu ada yang akan melakukannya” jawab pak Qomar,
“ia adalah orang malas yang benar-benar inigin berhenti malas”. Sambung pak Qomar lagi dengan suara agak setengah berteriak dan mumukulkan tangannya ke atas meja. Murid-murid yang mendengarnyapun spontan kaget dan langsung tidak bersuara sedikitpun. Suasana kelas kembali hening, namun bukan diliputi rasa penasaran lagi melainkan ketakutan yang sangat, karna setahu mereka pak Qomar tidak pernah melakukan hal tersebut sebelumnya. Ijul pun angkat suara dengan suara agak berat diselimuti rasa gugup yang terpancar dari wajahnya,
“kalau hanya ini jalan satu-satunya untuk berhenti malas, lebih baik aku tetap malas saja dari pada patah-patah tulangku karna tundun pisang”. Kata ijul sambil mengakhiri kalimatnya dengan sedikit cengiran diwajahnya.
Mendengar hal itu pak Qomar tampak bertambah gusar “Lebih baik patah tulang untuk berhenti malas dari pada hancur karna malas” sahut pak Qomar langsung.
Ijul pun terdiam tak dapat mengatakan apa-apa, begitu juga murid-murid yang lain.
“mungkin kamu akan saakit sekarang dengan membuang kemalasanmu itu, suatu saat nanti kamu akan merasakan hasilnya, masa mudamu yang kuat ini kamu gunakan untuk malas, tapi masa tuamu untuk kerja keras, apa tidak sebaiknya bersakit-sakitlah dahulu lalu bersenang-senang kemudian?” kata pak Qomar dengan nada meninggi dan berbicara lebih cepat, namun sangat jelas terdengar oleh murid-murid yang sedang terbungkam itu.
Tak beberapa lama setelah pak Qomar berkata seperti itu, Hadi perlahan mengacungkan tangannya.
“ya Hadi silahkan!” kata pak Qomar melihat acungan tangan Hadi pertanda ingin bertanya sesuatu.
“Lalu adakah obat malas selain ini?” dengan suara agak berat
“Tentu ada”. Jawab pak Qomar,
“Apakah itu” lanjut Hadi bertanya.
Pak Qomar menghela nafas panjang menundukkan kepalnya seolah memikirkan sesuatu atau ingin memberikan kejutan seperti sebelumnya. Beberapa saat kemudian pak Qomar mengankat kepalanya dan berkata
“Tanamkanlah dalam diri kalian bahwa AKU BUKAN PEMALAS, karna obat malas paling manjur itu ada pada diri kalian sendiri”. Kemudian pak Qomar langsung meninggalkan kelas dengan hening atas kata-kata terakhir yang ditinggalkannya.
Para murid akhirnya sadar bahwa tundun pisang bukanlah obat malas yang sebenarnya. Mereka akhirnya mengerti apa tujuan pak Qomar menyuruhnya membawa tundun pisang. Yaitu untuk memberikan obat malas yang sebenarnya untuk mereka. Obat malas yang bukan berupa materi atau mantera. Tapi berupa nasihat yang benar-benar mujarab jika benar-benar dilakukan.
Semua telah mendapatkan pelajaran dari pak Qomar hari itu. Sejak kejadian itu tidak ada lagi anak kelas dalam kelas Hadi yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah, atau menyuruh orang lain mengerjakan pekerjaan rumah, tidak ada lagi bolos sekolah, terlambat sekolah, tidak ada lagi Hadi si pemalas juga tidak ada lagi murid yang pergi kesekolah dengan berjalan kaki karena tidak ingin memasang rantai sepedanya yang seringkali lepas, semua telah sadar akan kesalahannya masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar