Senin, Februari 10

Hanya Kami yang Tersisa


“Jati sebaiknya kita segera bertindak, panggil monyet-monyet itu dan usir mereka”
“tidak mengapa, aku punya pirasat baik tentang mereka”
“pirasat apa? Binatang-binatang itu makin ganas dan tanpa pandang bulu”
“Aku harap pirasatku benar”
“ku harap begitu”

_______
“Ibuuuuu” teriakku
“orang-orang itu datang lagi” keluhku.
“sudahlaaah itu memang pekerjaan mereka, lagi pula mereka berjanji akan menanamnya kembali”
    Begitulah dialog yang selalu terjadi dengan ibu saat dua atau tiga suara gergaji mesin meratakan hutan belakang rumah. Sudah sejak tiga hari yang lalu aku tidak bisa menikmati tidur siang yang sudah menjadi kebutuhan primerku. Siang hari terasa seperti didalam oven begitu juga malam hari, peluh tanpa henti mengalir membasahi kasur. Setiap menit aku selalu berburu air minum dan sekedar menyegarkan muka. Hal-hal yang tidak terjadi saat ranting pohon masih menyentuh atap dapur rumah. Satu-satunya yang baik dari pembukaan lahan di belakang rumah itu tidak lagi kehilangan baju atau makanan yang diambil oleh penghuni-penghuni pohon.
    Beberapa hari berikutnya, truk-truk besar saerta eksavator membuat daerah pinggiran ini benar-benar tercemar oleh suara dan asap, tak terkecuali debu.
“Ibuuu, mereka semakin berisik bisakah kau bilang pada merka untuk berhenti sejenak selama aku tidur siang”
“tidak bisa Ririn biarlah mereka menyelasiakan tugasnya, sebaiknya kamu ketempat nenek, disana tidak terlalu ribut”
Setelah bersepada selama lima belas menit, aku tiba dirumah nenek. Ditempat nenek sangat sejuk, pohon-pohon mangga dan rambutan rapi memagari rumah. Dibelakang rumah ada kebun rambutan dan cempedak. Kebun yang sudah seperti surga saat musim buah tiba.
“mengapa ayah tidak menanam pohon mangga dan rambutan dibelakang rumah? Pasti tidak akan ditebang” gumanku dalam hati
Aku tidak lagi tinggal dirumah bersama ayah dan ibu, sepulang sekolah aku langsung ketempat nenek, buku-buku dan baju-baju sekolah semunya ku bawa ketempat nenek. Tak terasa aku marah pada ibu yang selalu membela ayah. “ibu tidak sayang padaku lagi” pikirku. Namun nenek berkata kalau yang ayah ibu lakukan adalah untuk kebaikan dan masadepanku nantinya. Apalah yang bisa anak kelas enam SD lakukan selain hanya mengangguk dan berkata “Iya ”.
“de kita tidak bisa begini terus, monyet-monyet itu semakin ganas dan meraja lela tanpa bisa dihentikan lagi”
“iya bang, bu Hasikin juga berkeluh demikian”
“malam nanti akan ada rapat desa, abang akan bicarakan masalah ini”
“semoga beruntung bang”.
Malam semakin larut sejak rapat dibuka ba’da isya, dan semakin mendekati penghujung pembahasan. Kutengok arlojiku yang sudah mendekati jam sembilan. ”ah... apa monyet-monyet ini aku masukkan disini? Sebaiknya ku utarakan lain kali saja” keraguan mulai menyelimuti hati, karna kulihat orang-orang yang hadir dalam rapat itu sudah seperti cacing kepanasan yang sebentar-sebentar menengok jam dinding masjid.
“Baiklah bapak-bapak demikian rapat kita......”
“tunggu sebentar....” potong salah seorang peserta rapat, yang sejak pertama rapat tidak mengangkat suaranya sedikitpun
“masalah monyet yang menyerang rumah-rumah warga, saya punya usul bagaimana kalau kita tebang sebagian pohon-pohon agar tidak terlalu menempel kerumah?” sambungnya lagi.
Suasana rapat mulai ricuh anggota rapat saling bicara dengan orang didekatnya, entah karena malam yang kian larut atau masalah monyet mamang harus dimusyawarahkan. Aku hanya bisa bersyukur dalam hati karena ada orang yang lebih berani berfikiran sama sepertiku. Keadaan masih berlangsung demikian hingga pimpinan rapat angkat suara,
“baiklah bapak-bapak, saya harap semuanya tenang ini tempat ibadah tidak baik berbicara terlalu keras”, Keadaan mulai kondusif kembali.
“ma’af sebelumnya karena saya terlambat menanggapi masalah ini karena tidak ada warga yang datang melapor, tentang masalah yang sangat serius ini ada baiknya  segera dibiacarakan namun tidak dengan hanya sebagian kecil dari kita karena masalah penebangan pohon seperti yang dikatakan pa Hasikin bukanlah masalah sepele. Untuk malam ini kita cukupkan sampai disini, untuk bapak-bapak yang hadir disini memberitakan kepada warga yang lain bahwa kita akan mengadakan rapat besok tentang monyet-monyet yang menyerang rumah-rumah warga”.
Kewibawaan kepala desa membuat seluruh peserta rapat mengangguk setuju atas apa yang dikatakannya. Begitu pula aku.
Esok haripun tiba walau terasa begitu lama, keseriusan warga dalam membicarakan masalah monyet tergambar dalam jumlah warga yang hadir di balai desa. Dengan beragam rupa dan betuk profesi semua berkumpul membicarakan suatu masalah penting.
Keadaan sudah sangat heboh, sejak kepala desa pertama kali membuka rapat. Sebagian besar warga menyetujui usulan untuk penebangan pohon, sebagian lagi tidak setuju sama sekali. Dan ada beberapa orang bijak yang mengambil jalan tengah dengan mendatangkan pengawas hutan agar menangkap monyet-monyet liar dan nakal itu. Aku hanya berdiam dan menyimak perang argumen dan alasan antra yang setuju dan tidak setuju, yang sudah seperti debat tanpa moderator. Keduanya saling berisi keras, namun karena pihak yang mendukung penebangan pohon lebih banyak maka pihak mereka yang memenangkan perdebatan.
Keputusan rapat tetap saja di tangan kepala desa, dengan segenap kemampuan yang ia miliki pak kepala desa tampak terdiam dan befikir keras atas masalah yang ia hadapi. Keputusannya dapat menimbulkan perpecahan yang memang semula sudah ada keretakan atau membuat warga semakin solid hubungannya. Kepala desa meminta kami untuk bersalawat kepada Nabi dan berdoa agar diberikan keputusan yang terbaik. Sampai mengajak untuk sholat istikharah bagi kami orang-orang muslim. Kemudian setelah jam 12.00 sejak musyawarah dimulai jam 07.00 pagi pak kepala desa membuat suatu keputusan yang tak dapat ditolak dan juga tak dapat disanggah oleh siapa pun.
“Penebangan pohon akan dilakukan sejauh 20 meter dari  setiap rumah, tapi bagi setiap warga yang belakang rumahnya telah ditebang pohon wajib menanam pohon berjenis buah-buahan apa saja. Karena melihat dari ke’adaan bahwa monyet menyerang rumah karena tidak memiliki makanan di hutan”
Dengan kewibawaan yang ia miliki, tak ada seorang pun yang berani membantah kata-kata pak tua beranak enam itu. Penasaran dengan tindakan selanjutnya akupun angkat suara,
“Kapan penebangan akan dilakukan?”
“Besok pagi, di waktu yang tersisa hingga sore hari ini kita siapkan alat-alat untuk bekerja besok. Bagi warga yang tidak mampu bekerja, diharapkan sumbangsihnya untuk membawakan makanan atau minuman bagi para pekerja”.
Akupun begitu lega, terbayang dalam benakku kalau aku tidak lagi harus membunyikan lonceng di belakang rumah tiap menit saat monyet menyerang. Kadang masih kebobolan saat kami sekeluaga tidur siang. Handuk, baju, panci, dan alat-alat dapur kerap kali lenyap saat aku dapati sekitar sepuluh atau dua puluh monyet telah memasuki dapur tanpa atap rumahku.

Tok...tok..tok ... sreeek sreeek sreeeek.,
“bapa, sudah lah istirahat dulu..”
Suara akrab yang begitu merdu terdengar samar di sela petukan palu di atas papan-papan yang telah ku rangkai untuk  membuat pot-pot berbagai ukuran.
“iya taruh saja kopinya disitu, sedikit lagi bu, tanggung”.
“bapa ini gimana, dari kemaren-kemaren juga bilangnya begitu, sudah lah pa bibit pohon itu tidak akan lari ko”
“tidak bisa bu, kalau tidak segera di pindahkan di pot yang lebih besar bibit pohon ini tidak bertahan lama”.
“mau jadi apa halaman rumah kita ini pa, hutan? Wong gak pernah ada yang beli ko”
“ibu ini bisanya ngejek saja, nanti ibu akan lihat hasilnya kalo sudah waktunya”
“gimana orang mau beli pa wong yang bapa jual pohon buah semua?”
“memangnya apa yang salah bu?”
“bapak ini gimana wong kepala desa gak tau masalah warganya”
“masalah apa bu”? Aku menghentikan pekerjaan ku dan menyimak seksama kata-kata istri ku tercinta seraya mendekatinya.
“itu loh pa, monyet-monyet liar yang menyerang rumah warga semakin tak terkendali, mereka seperti  bertambah setiap hari”
“kenapa tidak ada warga yang melapor bu?” tanyaku semakin penasaran
“ibu juga taunya dari bu Hasikin yang kemaren datang kesini waktu bapa keluar kota”
“apa kata bu Hasikin bu?”
“di bilang kalo monyet-monyet tidak hanya mengambil barang-yang ada disekitar rumah, dia juga menggangu ternak dan merusak kandang-kandang ayam. Bahkan anaknya diserang monyet”
“benar-benar kelewatan, masalah ini serius sekali bu, harus segera di cari solusinya”
“ya bener itu, kepala desa ko ngurusin pohon, kepala desa itu ngurursin warganya?”
“Bukan nya gitu bu, ibu merasa sendirikan kadang aku buat cemburu karna pohon, heehe” sambil menghabiskan secangkir kopi yang telah ia bawakan.
Aku merasa malam inilah waktu yang tepat untuk mebicarakan masalah monyet, karena malam nanti terdapat rapat desa tentang  bulan maulid yang biasanya desa akan mengadakan acara peringatan disalah satu hari di bulan tersebut. Serangkayan solusi pun aku sediakan untuk membicarakan masalah serius ini.
Malam pun tiba, acara rapat tentang acara bulan maulid dapat terealisasi dengan baik hingga semua masalah terselesaikan. Ingin rasanya membicarakan masalah yang sedang melanda desa, namun hal itu tidak mungkin akulakuakan dengan hanya sebagian kecil dari warga yang hadir malam itu. Sehingga kuurungkan niatku untuk mengutarakan masalah itu. Setelah semua masalah telah dirumuskan dan acara sudah direncanakan ku tutup rapat tersebut dengan segera karena kulihat warga telah gelisah ingin segera keluar dari forum rapat. Namun belum habis kataku untuk menutup rapat, seseorang yang tidak asing bagiku memotong kataku dan berkata,
“tunggu sebentar pak kepala desa....” potong salah seorang peserta rapat, aku pun langsung menghentikan kata-kata ku. Sejenak suasana menjadi hening, pak hasikin yang memotong kata-kata ku pun juga terdiam hingga aku persilahkan ia untuk menyampaikan permasalahannya barulah ia kemudian menyambung kata-katanya.
“masalah monyet yang menyerang rumah-rumah warga, saya punya usul bagaimana kalau kita tebang sebagian pohon-pohon agar tidak terlalu menempel kerumah?”
”ternyata pak hasikin benar-benar sudah tidak tahan dengan kelakuan monyet-monyet itu, tapi masalah ini tidak bisa ku bicarakan dengan jumlah orang yang sedikit ini” guman ku dalam hati, ditengah suara riuh yang meledak setelah Pa Hasikin menyampaikan masalahnya.
Lalu keadaan mulai kondusif setelah aku beri arahan “baiklah bapak-bapak, saya harap semuanya tenang ini tempat ibadah tidak baik berbicara terlalu keras”, setelah keadaan tampak tenang, ku lanjutkan lagi kata-kataku dengan berfikir keras untuk mencari solusi selain yang diusulkan oleh Pa Hasikin. Namun penolakan mentah-mentah yang kulakukan di depan banyak orang yang menyutujui usul itu, pastilah membuatku jatuh dalam pandangan mereka, pandangan segan dan hormat yang selama ini aku perthankan.
“ma’af sebelumnya karena saya terlambat menanggapi masalah ini karena tidak ada warga yang datang melapor, tentang masalah yang sangat serius ini ada baiknya  segera dibiacarakan namun tidak dengan hanya sebagian kecil dari kita karena masalah penebangan pohon seperti yang dikatakan pa Hasikin bukanlah masalah sepele. Untuk malam ini kita cukupkan sampai disini, untuk bapak-bapak yang hadir disini memberitakan kepada warga yang lain bahwa kita akan mengadakan rapat besok tentang monyet-monyet yang menyerang rumah-rumah warga”.
Malam itu berakhir dengan dilema yang sangat kuat dalam diriku, disisi lain aku perihatin dengan keadaan wargaku, namun disisi lain menebang pohon sebagai makhluk hidup yang paling aku hormati didunia adalah suatu hal yang mustahil aku lakukan. Memang aku dapat merasakan kepedihan yang mereka rasakan, namun itu tidaklah cukup untuk menguatkan diriku menerima usulan tersebut, karena aku tidak mengalami apa yang mereka rasakan.
Desa yang aku pimpin adalah desa pinggiran sungai kapuas yang membentang dua kilometer di sisi sungai. Memang sebagian warga ada yang mendirikan rumah tepat di pinggir sungai sehingga dekat dengan air, namun sulit untuk berkebun. Sebagian besar warga lebih memilih bertempt tinggal jauh dari sungai karena dapat membuka lahan perkebunan yang dapat menghasilkan keuntungan tersendiri. Namun keadaan tidak selalu baik, tanpa sepengetahuan ku yang berrumah di tepian sungai, keadaan wargaku didalam sana sedang dilanda musibah. Entah kapan serangan-serangan monyet itu datang, yang jelas hal itu baru saja terjadi karena sekitar dua bulan yang lalu aku selalu mengontrol keadaan wargaku, hingga aku disibukkan oleh bibit, bibit pohon yang aku beli dengan niatan menjualnya kembali. Berharap esaku akan menjadi penghasil buah ternama.
Esok haripun tiba, jam enam aku sudah berada di balai desa tak lama kemudian pa Hasikin datang, dia lah warga yang datang paling pertama seteah aku. Setelah setengah jam kemudian sekitar lima puluh kepala keluarga hadir dibalai desa. Baik itu merea yang berrumah dipinggiran sungai ataumereka yang bertempat tinggal jauh dari sungai.
Rapat pun kemudian aku buka, setelah menyampaikan masalah yang menimpa desa maka aku meminta saran untuk solusi yang baik dan tepat atas masalah yang melanda desa.
Pa Hasikin dengan cepat mengacungkan tangannya, dengan nada sedikit emosi dia berkata
“kita tebang saja pohon yang menjadi rumah rumah mereka”
aku sedikit terkejut mendengar kata-kata pak hasikin, namun aku tetap menunjukkan muka datar dan meminta pendapat dengan warga yang lain. Pendapat pendapatpun satu persatu bermunculan, namun pertentangan kemudian muncul karena sebaigian warga tidak menyetujui usulan untuk penebangan pohon dengan alasan bahwa sebelumnya telah disepakati bahwa penebngan hutan tidak boleh dari yang telah ada sekarang demi menjaga kelestarian pohon-pohon langka yang memang dijaga kelestariannya oleh pemerintah.
Perang mulut dunia tiga pun terjadi, antara warga yang bertempat tinggal di tepian sungai dan jauh dari sungai, tentu saja tentang setuju dan tidaknya penebangan pohon. Sementara itu aku hanya menyimak sambil memikirkan keputusan apa yang akan aku ambil diakhir rapat nanti.
Setelah sekian lama berlangsung perang, namun jawaban atas masalah tidak juga ditemukan akhirnya aku mengajak warga untuk sholat istikharah setelah kami melangsungkan sholat djuhur. Kemudian semuanya berkumpul kembali setelah sholat istikharah.
Dari wajah mereka tergambar sepercik harapan padaku, menanti keputusan ku. Dengan persaan yang tidak menentu dan semakin panik karena para warga terus menatapku akhirnya tanpa sengaja aku membuat keputusan yang tidak mungkin akan terucap jika dalam keadaan diriku yang sesadar-sadarnya
“Penebangan pohon akan dilakukan sejauh 20 meter dari  setiap rumah, tapi bagi setiap warga yang belakang rumahnya telah ditebang pohon wajib menanam pohon berjenis buah-buahan apa saja. Karena melihat dari ke’adaan bahwa monyet menyerang rumah karena tidak memiliki makanan di hutan”
Wajah mereka tampak lega diringi dengan senyuman yang terukur indah di bibir mereka. Entah kenapa akupun merasa lega terlebih lagi tidak ada seorang pun yang membantah atau memberi masukan lain atas keputusan ku. Tak lama suasana itu berlangsung seorang warga berkata.

“Kapan penebangan akan dilakukan?” pertanyaan yang memecah ceremony kebahagiaan.
Tanpa bosa basi langsung ku jawab.
“Besok pagi, di waktu yang tersisa hingga sore hari ini kita siapkan alat-alat untuk bekerja besok. Bagi warga yang tidak mampu bekerja, diharapkan sumbangsihnya untuk membawakan makanan atau minuman bagi para pekerja”.
Esok hari datang begitu cepat, penabangan pohon diakuan seharian penuh dibawah pengawasan ku langsung. Kerja sama warga sangat berperan dalam proses penebangan pohon ini. Hari pertama dilakukan penebangan sekitar lima puluh pohon kami tebang dengan lansung menyingkirkan dan membersihkan kayu bekas tebangan dengan segala kemampuan yang kami miliki.
Biarpun wajah yang ku tunjukkan hanya tersenyum dan memberikan komando sebaik-baiknya atas keputusan yang aku buat, namun hatiku benar-benar pedih. Rasa ingin terjatuh air mata dari tempatnya namun sekali lagi kuperingatkan diriki bahwa in keputusanku.
Hari kedua kami mendatangkan alat-alat berat untuk memindahkan kayu-kayu bekas tebangan yang sudah semakin menjauh kedalam hutan. penebangan yang semakin jauh kedalam membuat pemandangan-pemandangan baru yang tidak kulihat sebelumnya. Dua pohon besar yang ranting dan cabangnya saling bersetuhan. Tampak kukuh mengungguli teman-temannya yang lain. Merasa tertarik aku pun berjalan mendekati kedua puhon tersebut yang masih berada di dalam hutan belantara, sementara penebangan terus berlanjut.
Pemandangan yang mencengankan tampak dibawah kedua pohon besar tersebut. Seluruh barang-barang warga yang hiang terkumpul disini. Penasaran dengan apa yang aku lihat, akupun berjalan lebih mendekat ke dua buah pohon itu. Mengamati dengan seksama mencari arti dari keanehan yang kudapat.
Daun-daun yang tampak masih segar berjatuhan dari pohon tersebut yang membuatku harus menengok ke atas sana karna hal itu semakin ganjil kulihat. “astaghfirullahaladim” aku terperanjat dan terjatuh di bawah ketakutanku. Entah berapa puluh atau bahkan ratusan monyet yang berdiam diri di balik rimbunan daun-daun yang mulai rontok karena usia pohon yang semakin tua. Pemandangan yang tidak akan tampak selain dari kaki pohon ini sendiri.
Tiba-tiba muncul sesuatu dibenakku, kenapa kami terfokus pada serangan monyet yang menyerang warga. Tidak melihat penyebab mengapa monyet menyerang warga. Hanya karena dia bitang yang dianggap tidak berfikir? Kesal ku dalam diri sendiri. Kemudian aku pergi meninggalkan pohon tersebut dan menemui warga yang sedang menebang pohon.
Seorang paruh baya berjalan perlahan mendekati kami, dengan parang yang ia ikat pada pinggannya ia terus berjalan menuju kaki kami, menebas semak-semak. Menciptakan jalannya sendiri. Tidak sedtikpun mata kami lepas untuk mengawai gerak geriknya. Melihat tubuh kami semakin dekat dan bingung atas barang-barang yang aku tidak tahu apa gunanya itu.
Ku jatuhkan beberapa helai rambutku untuk memberinya isyarata bahwa kami ada disini butuh pertolongan bijaknya

“akhirnya di melihat kearah kita”
“ayoo katakan padanya, kalu kita butuh pertolongan!”
“sudah ku katakan, semoga dia mengerti”
“sepertinya begitu, suara mesin-mesin gergaji itu berhenti, mereka salah sangka atas perkara yang kita maksudkan”
“iya..., Dengan sedikit pertolongan mereka, kita akan tetap hidup sebagai satu-satunya pohon ulin dan jati terbesar yang tersisa”
“terimakasih monyet-monyet, kalian boleh tinggal disini selamanya”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar