Sabtu, Februari 15

Obat Malas

Di suatu sekolah agama, di sebuah desa pinggiran kota yang tidak terlalu jauh tertinggal dengan perkembangan jaman. Ada seorang guru yang sangat terkenal dengan nasihat-nasihat bijaknya. Berbeda dengan sekolah pada umumnya, sekolah agama Nahdlatussalam ini tidak terlalu ketat dalam kedisiplinan namun sangat menuntut  atas kesadaran diri pelajar masing-masing. Hal ini membuat sebagian anak semena-mena dengan waktu kedatangannya ke sekolah. Bahkan ada sebagian anak yang biasa bolos sekolah.
Suatu hari guru yang bernamakan lengkap Qomarudin ini telah mengajar dalam sebuah kelas yang disana terdapat seorang murid yang sangat malas. Teman-temannya memanggilnya Hadi sipemalas. Karena ia selalu berkata aku malas atau aku tidak biasa untuk setiap perintah yang diberikan kepadanya. Hadi bukanlah anak yang bodoh, dia jenius namun sayangnya kejeniusannya itu tidak begitu populer dikalangan orang banyak. Saat itu ia menginjak kelas dua Aliyah sederajat, namun berangkat sekolah selalu berjalan kaki disamping teman-temannya yang berangkat sekolah dengan kendaraan. Sudah itu dengan sendal pula, padahal rumahnya jauh dari sekolah. Bukan karena Hadi tidak punya sepeda, ditambahlagi jalan yang dilaluinyapun becek. Melihat sikapnya itu, sang guru yang biasa disapa dengan pak Qomar itu pun tertarik untuk menanyakan mengapa ia berbuat demikian? Lantas Hadi menjawab dengan tegasnya,
“Pak guru, saya berjalan kaki kesekolah karena saya malas mengendarai sepeda kesekolah. Itu karena saya malas untuk memasang rantai sepeda yang selalu lepas, dan itu membuat baju saya kotor sehingga Ibu saya memarahi saya sa’at mencuci baju saya. dan saya pergi kesekolah dengan sendal karena sepatu saya yang kotor dan saya malas untuk membersihkannya lagi pula memasang sepatu itukan lama karna saya harus mengikat talinya terlebih dahulu”.
 Mmendengar ucapan muridnya guru yang terkenal dengan nasihat-nasihatnya itu berkata.

Api Semangat di Kampungku

Setelah mengikuti ujian akhir semester genap, seluruh mahasiswa mendapatkan libur panjang sekitar dua bulan. Namun aku tidak dapat menikmati libur sepanjang dua bulan itu karna berbagai kegiatan yang harusku lakukan. Bulan Ramadhan pun akhirnya Aku jalani di tanah orang. Hal biasa yang terjadi saat awal Ramadhan di Negeri berlambang garuda ini ialah penentuan tanggal 1 Ramadhan, Banyak opsi-opsi dari berbagai aliran yang berpendapat berbeda-beda tentang itu. Seperti kota yang aku dami dibulan suci ini sebagian masyarakatnya ada yang mulai berpuasa sehari terlebih dahulu daripada waktu yang telah dtetapkan oleh pemerintah, ingin mengkut seperti kata pepatah dimana kaki berpijak disitu lah aku berada, dengan ikut puasa terlebih dahulu, namun ayahku selalu mengajarkan untuk ikut aturan seperti yang telah ditetapkan oleh pemerintah, walaupun terkadang ada aturan pemerintah yang tidak aku taati. Ya di kota cantik Palangka Raya ini aku jalani bulan ramadhan dengan penuh kekhusyu’an walaupun ingin sekali rasanya berpuasa dikampung halaman sendiri, menikmati hawanya yang segar dengan alaminya tanah disana tanpa bangunan-bangunan yang megah seperti di kota ini yang mungkin karna itulah dinamakan kota cantik. Sholat tarawih di masjid dekat rumahku bersama saudara dan teman-temanku yang selalu aku rindukan. Berbuka puasa bersama keluarga menjadi momen yang paling akunanti-nanti.
Penantian selama dua puluh Sembilan haripun berakhir. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang meributkan tentang awal dan akhir Ramadhan, tahun ini Lebaran tampaknya akan dilakukan secara bersamaan di negeriku tercinta Indonesia ini, wlaupun ada banyak hal yang aku tidak suka. Hatiku mulai membayang-bayangkan keadaan kampungku yang telah aku tinggal selama 1 tahun kurang sedikit itu mulai saat aku mengayuh selenger mesin kendaraanku. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 3 jam, akhirnya aku sampa di Kapuas yang sebenarnya merupakn kota dari tempatku berada, aku masih harus menempuh 6 Km lagi untuk sampai kekampung halaman tempat aku dibesarkan, walaupun aku tidak dilahirkan di desa itu. Selagi aku berada di pusat perbelanjaan kota, Aku gunakan kesempatan itu untuk membeli pernak pernik khas lebaran yang tidak akan tertinggal setiaptahunnya di hidangan kelurga kami, yaitu minuman bersoda. Kulanjutkan perjalanan hingga 15 menit kemudian tibalah aku dirumah. Tidak ada hal yang berubah disekitar rumahku, hanya saja bangunan yang baru selesai berdiri disamping rumahku yang sudah mulai dibangun saat aku meninggalkan kampung sehingga aku tidak begitu terkejut saat melihatnya. Dialah tetangga baru yang pendiam.
“assalamu’alaikum” salamku didepan pintu sambil mengetukkan punggung jari tengahku ke atas pintu tersebut. Lalu kuulangi lagi setelah tidak ada jawaban yang aku harapkan terdengar.
“asslamualaikum”.. sambil menglangi hal yangku lakukan saat salam ku yang pertama. Tak berapalama terdengar suara berisik bak berlari-lari kecil menghampiri sepeda baru yang dibelikan oleh ayah untuk anaknya dari dalam rumahku seraya menjawab salamku dengan setengah berteriak. Dari langkah kakinya aku sudah tahu jika mereka akan berebut membukakan pintu untukku, ya mereka adalah dua adik mungilku yang umurnya selisih empat tahun, tapi mereka sangat menekmati masa kecilnya bersama-sama.
“wa’alakum salam, bang Irfan datang umi” teriak adik bungsuku girang saat menemukan aku yang berdir dihadapannya. Lalu mempersilahkanku untuk masuk ke rumah. Kedua adik keclku itu masing-masing Hanif dan Hasan dari yang tertua. Mereka mulai menempelkan tubuhnya padaku. Menggiringku dari depan pintu ke dalamrumah sambil mengenggam tanganku, namun bukan tanganku yang ia maksud melainkan kantong plastik yang sedangku bawa, lalu kubiarkan dia membawa kontongan plastik penuh makanan favoritnya itu yang akan membuatku leluasa menemui olang yang paling aku rindukan selama ini, dialah ibuku tercint. Langkah demilangkah ku telusuri lorong-lorong menuju kamar ibuku dan disanalah kutemui dia dengahn wajah penuh kerinduan yang mendalam, “oh irfan anakku” tuturnya seraya memeluk erat dan menjabat tanganku. Tak tertinggal ciuman kasih sayang di pipi kanan dan kiri ku, hingga terobati sudah kerinduanku pada keluarga. Hanya saja ayahandaku yang tidak dapat aku temui saat itu karena masih berada di Jakarta. Namun belum sepenuhnya terobati jika aku tidak menjumpai teman-teman satu perjuanganku dimasa SMA dulu.
Hari itu hari terakhir ramadhan, namun puasa masih berjalan seperti hari-hari biasanya. Setelah kuhabiskan segelas air putih, segeraku tinggalkan rumah untuk melaksanakan ibadah sholat maghrib di masjid yang jaraknya 500 meter dari rumah seraya berharap akan menemui teman-temanku yang biasa melaksanakan sholat berjamaah dimasjid. Namun lepas dari harapanku, tidak satupun teman-temanku yang basa sholat di masjid ada saat itu. Akupun berperasangka bahwa mereka sedang sibuk melaksanakan buka puasa dirumah sehingga tidak sempat sholat ke masjid. Maghrb itupun aku adzan, iqomat, dan sholat sendiri. Tapi sepulang dari sholat maghrib kutemui mereka nongkrong di pos kamling dekat masjid. Sedih rasanya melihat pemandangan yang mengerikan itu, padahal mereka semua sekolah agama sama seppertiku dulunya. Aku masih berharap mereka melakukan sholat di rumahnya. Sampai saat sholat isya hampir tiba, kukunjungi rumah teman-temanku yang biasa melaksanakan sholat dimasjid untuk mengajaknya kembali sholat dimasjid. Mungkin bagi sebagian orang sikapku ini aneh, tapi bagi teman-temanku itu hal yang sudah sangat biasa. Sesampainya dimasjid untuk melaksanakan sholat isya berjamaah, satu hal lagi yang membuatku sangat kecewa. Seisi masjid itu dipenuhi dengan jamaah anak-anak semuanya, tidak ada satupun orang dewasa yang akan mengimami sholat isya tersebut. Karna kebetulan aku hadir disitu, maka akulah yang menjadi imamnya. Selesai sholat isya, ku tahan sejenak teman-temanku yang ingin segera pulang untuk memeriahkan malam idul fitri, untukku ajukan beberpa pertanyaan yang membuatku benar-benar penasaran.
Semua mulai duduk melingkar seperti yang telah aku instruksikan. Jadilah kami seperti konsfrensi bundar tanpa meja di dalam tempat yang paling mulia dikampung halamanku, sebut saja Anjir. Kami mulai saling bercerita tentang keadaan kami selagi kami terpisah, dengan bahasa kampungku yang khas, membuat wajah-wajah lelah mengerjakan puasa sebulan penuh menjadi muka yang penuh dengan pancaran cahaya kegembraan. Perkumpulan seperti ini sudahbiasa kami lakukan saat kami sekolah setingkat SMA dahulu, sepulang sekolah kami langsung menuju satu-satunya masjid di kampung kami itu dan melaksakan sholat juhur berjamaah, setelah sholat juhur kami mulai berkumpul untuk sharing tentang masalah sekolah, agama, wanita dan apa pun yang ingin kami ungkapkan. Setelah cukup kurasa mendengar curhat-curhat mereka yang hampir meluluhkan airmata, aku mulai mengutarakan maksud dan tujuanku mengumpulkan mereka kembali. Mereka pun mulai bercerita tentang kedaaan kampung selam aku tinggalkan dengan alur cerita berantakan namun saling melengkapi satu samalain, saling tuduh untuk menyalahkan karena meraka merasa menjadi pelaku yang terlibat dalam kekacauan itu.
“sungguh menyedihkan keadaan kampung saat kau tinggalkan Fan, langgar kosong anak-anak mudanya hanya bermain gitar dan catur setiap harinya, lebih parahnya lagi mereka biasa berjudi, minum-minuman keras, bahkan mereka tidak malu lagi membawa wanita secara terang-terangan ke daerah kampung sini.” Tutur salah seorang temanku
“Kalaupun ada orang dilanggar itupun hanya anaka-anak saja, aku paling. Setelah adzan dan iqomah jika tidak ada orang dewasanya kami sholat sendiri-sendiri saja. Kami tidak ada yang berani menjadi imam, imam itukan tanggung jawabnya besar” kata salah seorang temanku lagi. Aku hanya menggelengkan kepala merespon apa yang mereka sampaikan tanda ketidaksetujuanku.
“sekarang teman-teman lebih asyik dengan hand phonenya daripada mengaji tadarrusan Al-qur’an dimasjid padahal ramadhan-ramadhan sebelumnya mereka rajin mengaji kemasjid” tambah salah seorang temanku yang lainnya. Aku hanya mendengarkan dan prihatin atas apa yang terjadi, sangat berbeda dengan saat aku belum meninggalkan kampung ini dulu.
“biasanya jika kami sedang sekolah maka adzan zuhur tidak berkumandang di masjid”. ungkap temanku yang lain. Setelah puas denga segala keburukan yang mereka utarakan yang sebagian dari mereka juga terlibat dalam apa yang mereka katakana akupun langsung mengambil tindakan dengan angkat suara. Hal yang pertama yang aku sampaikan adalah agar beristighfar dan bertaubat memohon ampun kepada Allah atas apa yang telah mereka lakukan dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Mereka mulai terdiam meratapi ucapanku. Laluku lanjutkan kata-kataku,
“bermain catur, itu sungguh perbuatan yang sia-sia, coba kau gunakan untuk mengerjakan PR mu atau membaca buku-buku islami, toh sama saja menguras otak. Minum-minuman main judi? Aku yakin kalian pasti tahu apa hukumnya dan apa akibatnya jika melakukan itu. Tapi kenapa dilkukan? Lebih baik kerja membantu ayahmu membajak sawah sana!” tuturku pada mereka semua namun kuarahkan jari telunjukku dan pandanganku kepada salah seorang dari mereka yang aku tahu bahwa itulah yang ialakukan sehari-harinya. Dia hanya diam dan mengangguk-angguk.
“bagus kamu sudah memenuhi panggilan adzan kemasjid, tapi untuk apa kamu kemasjid kalo hanya sholat sendiri-sendiri akhirnya, coba lah mengalah jadi imam. Sholat dimasjid itu untuk mendirikan sholat tepat pada waktunya dan melaksanakannya secara berjamaah sesuai anjuran nabi. Nah mulai saat ini kamu yang menjadi imam jika tidak ada orang dewa yang kemasjid”. Seperti menobatkan seseorang menjadi perdana mentri. Tapi aku menunjuknya bukan sembarang tunjuk dia adalah teman sekelasku saat SMA dan aku tahu persis apa saja yang diajarkan oleh guru kami saat itu, semunya tidak lepas dari masalah agama karena aku bersekoplah di pesanteren aliyah yang sederajat SMA. Kemudian aku melanjutkan tanggapanku kepada aduan temanku yang lain nya,
“boleh saja main handphone asal tidak berlebihan, maen handphone sampai tidak tadarrusan itu sangatlah keterlaluan, satu pencetan tombol hanphone telah membuang pahala 10 kebaikan jiaka saja waktu maen hanphonemu kau gunakan untuk ngaji. Karena membaca 1 huruf dari alqur,an itu sama dengan 10 kebaikan. Coba kalua 30 huruf, kamu sudah dapat 300 kebaikan. Dan akan mendapat balasan surga. 300 pencetanmu ketombol hp akan semakin mendekatkanmu keneraka tau!” aku mulai meninggikan suaraku karena sedikit geram. Taktahan lagi rasanya aku menahan kata-kata yang sejak mereka bercerita tadi sudah bergejolak ingin aku semburkan. kemudanku lanjutkan kembali kata-kataku setelah menghela nafas beberapa saat.
“kesalahan terbesar kalian adalah membiarkan adzan tidak berkumandang dimasjid. Itu kesalahn fatal. Lebih baik robohkan saja masjidnya, sholat dirumah masing-masing. Toh ada masjid juga tidak diadzani. Bagaimana kampung mau makmur orang jantungnya tidak dihidupkan. Masjid itu jantungnya kampung, kalo masjidnya makmur maka tidak adalagi kemaksiatan dimana-mana. Orang-orang akan berbondong-bondong kemasjid, orang tua anak kecil pokoknya semuanya. Nah untuk itu kita yang muda-muda ini yang mempeloporinya. Kaliankira para pejuang mewariskan kemerdekaan hanya untuk membuat kita bebas mainjudi, minum-minuman, pacaran? Tidak, mereka berharap kita dapat  beribadah dengan tenang sehingga pahalanya mengalir kepada mereka, Begitu!” aku sudah seperti seorang kiayi yang meronta-ronta ditengah kerumunan maksiat untuk emnghancurkannya. Mereka hanya bias mengangguk dan menyadari kesalahan mereka. Kemudian salah seorang teman ku mengangkat suaranya
“kenapa tidak kamu saja yang melakukan semuanya? Kau datangi pintu kami satu persatu untuk ke masjid agar kami tidak lupa untuk sholat. Kau bubarkan kami saat akan maenjudi, minum-minum dan main catur? Kenapa kau malah pergi meninggalkan kami jika kau memang sayang kepada kami dan tidak ingin kami terjerumus jalan yang sesat? Kenapa?” dia mengatakannya sambil menahan isak tangisnya dan mulai menyapukan pergelangan tangannya kemata. Akupun mendekatinya dan merangkul tubuhnya lalu berkata,
“Karena aku yakin kalian biasa melakukannya tanpa aku, karna kalian adalah teman-temanku dan teman-temanku itu adalah orang-orang yang baik”. Lingkaran kamipun mulai merapat mendekati sisi temanku yang telah menjatuhkan airmata penyesalan sekligus harapnnya di tempat yang mulia itu. Malam itu akan menjadi malam yang membekas dihati setiap orang yang hadir didalam perkumpulan itu. Akan menjadi malam lebaran yang mengubah hari esok menjadi labih baik oleh sekelompok pemuda insyaf yang siap membongkar kegelapan menjadi cahaya nanterang penuh kemenangan.
Keesokan harinya setelah sholat idul fitri, ku salami sahabat-sahabat pejungku yang penuh semangat itu dan memohon ma’af saecara lahir dan batin atas segala kesalahn yang telah akulakukan terhadap mereka, baik dalam perkataanku atau dalam prbuatanku yang telah akulakukan secara disengaja maupun tidak disengaja dan mereka pun melakukan hal sebaliknya terhadapku. Setalah menundukkan kepala dihadapan ibuku yang telah mendidikku tanpa lelah, aku berpamitan kepada semua orang yang ada dikampungku melalui kedua adik manisku yang tersayang untuk sekalilagi meninggalkan kampung ini menuntut ilmu ke kota cantik palangkaraya agar berguna natinya di masyarakat.

Tulisan yang Terlupakan

Namaku Khalid Muttaqin, Teman-temanku biasa memanggilku Khalid. Sejak aku dilahirkan pada 01 November tahun 1994 aku dipelihara oleh kedua orang tua yang berlatar pendidikan bisa dibilang tinggi pada jamannya. Jika dilihat dari latar kedua orang tuaku, aku adalah anak yang berpendidikan, baik dari segi moral, agama, sikap, tanggung jawab, maupun hubungan sosial. Namun kenyataannya tidak seperti yang dilukiskan oleh kedua orang tuaku. Aku malah sebaliknya. Jika dikatakan aku bukan anak ayah dan ibuku, mungkin bisa. Maksudnya akhlak ayah dan ibuku tidak menurun kepadaku. Tapi darah dagingku tetaplah dari ayah dan ibu.
Saat menginjak bangku sekolah dasar, aku hampir tidak pernah menempati posisi teratas dalam pringkat kelas, namun selalu dibawahnya. Sekali aku dapatkan peringkat kelas, itu pun karena rivalku tidak bisa hadir saat ujian sebab sakit. Jika dibilang pandai akurasa aku tidak pandai. Hanya saja aku heran mengapa setiap teman-temanku selalu bertanya mengenai pelajaran kepadaku. Mungkin karena ayah dan ibuku adalah seorang guru, jadi aku dianggap pintar, sebenarnya tidak.
Tidak habis enam tahun aku sekolah di sekolah dasar, aku dipindahkan ke madrasah ibtida’iyah yang derajatnya setingkat dengan sekolah dasar. Pindah sekolah dengan alasan mengikuti orang tua memeng sudah umum, yah karna tidak ada alasan lain, maka alasan itu pulalah yang menjadi alasan kepindahan sekolahku. Pindah tugas mengajar ayah dan ibu, berati juga pindah sekolah untukku. Dari desa terpencil dikecamatan Mantangai sana, ke Anjir kecamatan kapuas timur. Padahal hanya tinggal satu setengah tahun lagi akau akan menyelesaikan sekolahku disekolah dasar. Namun beruntungnya sekolahku yang baru lebih baik dibandingkan dengan yang lama, baik dalam bangunannya!. Namun sekolah itu memojokkanku karena seluruh pembelajaran yang telah aku dapat sebelumnya tidaklah dipelajari di sekolah baruku itu. Peringkat runnerup pun tidak bisa aku dapatkan lagi, yang terbaik hanya peringkat kelima dari jajaran paling bawah.
Menyelesaikan jenjang sekolah dasar memang terasa bahagia, namun ternyata kelulusan hanya sebuah awal dari tahap selanjutnya yang lebih sulit lagi. Umur 12 tahun aku dipisah dari orang tuaku untuk sekolah dipesantren, tidak tanggung-tanggung. Amuntai adalah pesantren pilihan ayahku. Namun hasilnya, tidak genap dua tahun aku telah ditarik pulang oleh ayahku untuk sekolah di kampung saja. yang jelas kualitas sekolahnya jauh tertinggal dari sekolah pesantren. Ditarik bukan karena ketidak cukupan faktor biaya, namun karna ulahku yang bukan-bukan di pesantren.
Kehidupan dipesantren yang singkat, tidak berlalu begitu saja. walaupun aku tidak menyelesaikan sekolah tingkat menengahku disana namun aku mendapatkan suatu hal yang berharga yaitu tentang tulisan. Bermula dari kegemaranku mengunjungi perpustakaan, lambat laun aku mulai tertarik untuk memebaca buku-buku novel yang tersusun rapi dalam lemari yang berdebu. Dan akhirnya membca menjadi kegemaranku. Setumpuk novel telah kubaca, sampai-sampai aku rela bolos sekolah untuk mencarI episode lanjutan dari novel yang telahku baca sebelumnya. Setelah sekian banyak novel yang aku baca, muncullah ide dalam benakku suatu cerita yang ingin aku  buat. Namun ide itu tidak pernah terealisasikan, hingga
Suatu hari, dalam pelajaran yang membosankan dan membuatku menguap tak henti-henti. Sembari memain-mankan pulpen ditanganku. Aku pun mencoretkan beberapa patah kata yang ada dalam pikiranku ke atas lembaran kosong yang seharusnya berisi tentang pelajarn di hadapanku. Tidak aku sangka hal mengejutkan terjadi. Sang guru yang merasa tidak diprhatikan datang menghampiriku dan menanyakan apa yang sedang aku lakukan. Tersentak dari lamunanku gurupun langsung mengambil lembaran yang aku tulis dan menyuruh salah satu temanku membacakannya. Hal yang selalu aku ingat dalam hidupku adalah, sorakan menjadi penutup dari bacaan yang telah aku buat. Sang gurupun memuji tulisanku dengan kata-kata yang selalu aku ingat “ternyata khalid berbakat menjadi penulis, tulisannya bagus!”. Namun guru Bahasa Indonesia itu kembali meluruskan ku agar fokus pada saat pelajaran berlangsung. Dan sejak saat itu pelajaran Bahasa Indonesia lah yang aku gemari.
Pindah sekolah bukanlah suatu kegagalan, kata ibuku. Mungkin saja kamu memang tidak cocok dengan sekolah pesantren, lanjutnya lagi. Aku hanya diam dan mengiakan. Sedang ayahku marah dan hampir saja memebrentikanku sekolah. Sekarang sekolahku adalah sekolah umum tingkat menengah. Pelajaran biologi, fisika, ilmu pengetahuan sosial, apalagi matematika membuatku tidak betah di sekolah baruku, terlebih lagi guru pelajaran bahasa Indonesia yang jarang masuk, membuatku turun sekolah hanya untuk sebuah penantian.
Diwaktu luang yang berharga itulah huruf demi huruf memenuhi buku yang aku siapkan khusus untuk menulis apa saja yang terlintas dalam benakku. Segala hal yang ada disekitar, sesuatu yang aku gemari, menjadi topik utama dalam bukuku. Tak terhindar masalah cinta. Hingga dalam waktu yang lama, buku tebalku telah penuh dengan segala orat-oret yang ada dalam fikiranku. Bermula dari sebuah kegemaranku untuk menulis, sekarang aku mulai berfikir bagaimana agar tulisanku dibaca oleh orang lain. Memang susah dijaman seperti ini mencari orang dengan hoby membaca, jangan kan membaca tulisan yang tercatak rapi, apalgi mebaca tulisan oret-oretan. Mustahil akan ada pembacanya.
Mengakhiri sekolah di menengah umum, kini aku kembali ke ranah lingkungan pesantren. Yang disitu hanya terdapat 2 bahasa, Arab dan Inggris dengan pelajaran bahasa indonesia yang minimum. Kebiasaanku menulis cerita bersastrakan Indonesia lambat laun tergantikan dengan tulisan arab yang dituntut untuk selalu dilatih. Ditambah lagi kekecewaanku terhdap tulisanku sendiri yang tanpa ada pembacanya. Kebiasaan menulis atau Kegemaran menulisku mulai pudar. Hanya saja pulpen dan kertas selalu menyertaiku kemanapun aku pergi. Begitulah hingga aku lulus jenjang menengah atas di salah satu sekolah favorit didesaku.
Mengawali jenjang perguruan tinggi dengan mendaftar SNMPTN di universitas palangkaraya dengan mengambil jurusan Bahasa Indonesia sebagai pilihan kedua untuk antisipasi ketidak lulusan dalam tes Bahasa Inggris. Ternyata tidak sesuai dengan segala harapan yang diharapkan, kedua-duanya fail. Beruntung dipalangkaraya tidak hanya memiliki universitas tapi juga banyak perguruan tinggi. Setelah memilih-milih beberapa perguruan tinggi. Sekolah tinggi agama islam menjadi pilihan terkhirku. Melalui test jalur kampus, masuk sekolah tinggi yang biasa disebut STAIN palangkaraya, aku diterima.
Masuk kampus, seperti masuk kesebuah dunia baru bagiku. Mungkin itulah yang dipikirkan 300 mahasiswa baru lain yang masuk tahun 2012 itu. Melalui orentasi penerimaan mahasiswa baru sedikit aku kenal tentang kampus, mahasiswa, dan organisasi. Saat pertama mendengar masalah organisasi, seakan organisasi menjadi suatu hal yang wajib bagi mahasiswa, dan satu-satunya yang aku pikir tentang organisasi adalah aku tidak tertarik. Namun setiap orang berkata bahwa organisasi akan memberi manfaat.
Lama memahami kata-kata itu, aku mulai menginjakkan kaki dalam berbagai organisasi, dan memeng benar organisasi bukan lah suatu yang menarik. Hingga sebuah acara  yang sangat menarik hatiku diadakan dikampusku, terlebih lagi ada acara lomba menulis didalamnya, sayang waktu yang terbatas membuat tulisanku tidak maksimal, walaupun sudah sempat aku kirimkan, tulisanku itu hasilnya tidak memuaskan. Menulis bersama Boim Lebon adalah acara yang mengadakan lomba menulis tersebut. Antusias yang tinggi menyertaiku dalam acara tersebut acara yang sama sekali tidak membuatku bosan karna acara tersebut memang benar-benar belajar menulis. Satu hal yang membuatku begitu tertarik adalah cara pempublikasian karya tulisan, salah satu cara ialah bergabung dengan FLP. Sebuah jalan terang benar-benar terbuka sekarang, sebuah impian yang telah lama ditunggu akhirnya bertemu juga. Namun kini lembaran-lembaran berharga berisi karya berharga telah hilang entah tertinggal dimana. Namun sebenarnya hanya hilang sebagai lembaran, karya yang hakiki itu tetap ada dalam diriku yang siap diterbitkan oleh penerbit Khalid Muttaqin.

Sumur di Jalan


    Disuatu pagi yang cerah, tampak anak-anak sekolah sesak memenuhi jalan lintas Kalimantan itu. Bergumul dengan kendaraan, mobil dan truk-truk besar. Namun itu sudah menjadi suatu pemandangan yang biasa bagi warga Anjir.
    Enam kilometer dari kota Kapuas, berdiri sebuah rumah sederhana diantara deretan rumah-rumah besar lagi megah, tidak berhalaman luas, tidak pula terhias tumbuhan bunga di depannya. Hanya saja sebatang pohon mangga tua tumbuh kokoh di depan rumah itu dengan daun rimbunnya yang selalu merindangi pelataran rumah, dan bangku kayu Galam dibuat tepat di bawah pohon itu, yang biasa menjadi tempat berkumpul Hanif dan temannya.
    Waktu telah menunjukkan pukul 07:00 WITA, seorang anak sekolah dengan sepeda tuanya berhenti tepat di depan rumah sederhana itu,
“Haniiiiip” Teriaknya dari tepi jalan
“iyaa sebentar, aku tau pasti kau ingin katakan jika kau tidak cepat  kita akan terlambat lagi”
Sahut Hanif sembari bergegas keluar dari rumahnya.
“betul itulah yang ingin aku katakan, aku tidak mau dicap sebagai tukang lambat hanya karena kelalaianmu tidak tahu diwaktu”
“kamu memang begitu Yan, selalu disiplin dalam waktu, tapi sekarang kau tidak perlu khawatir terlambat lagi”
“ mengapa demikian ?” sahut Riyan penasaran
“aku sudah punya alat agar kita datang tepat waktu dan tidakakkan terlambat lagi”
“cepat katakan saja !  Jangan buat aku penasaran Nif”
Perlahan Hanif singsingkan lengan bajunya yang panjang  seraya menunjukkannya kehadapan Riyan, “aku sudah mempunyai jam tangan, jadi aku bisa memeperkirakan waktu kita untuk berangkat sehingga tidak akan terlambat lagi”  seraya menunjukkan pergelangan tangan kirinya yang berhiaskan jam tangan baru itu.
“kalau begitu, apa yang kau tunggu ayo lekas kita berangkat” sambung Riyan.
“ayoooo, dengan senang hati” sahut Hanip bersemanagat.
Mulailah mereka dengan sepeda usangnya, bergabung dengan siswa-siswi lain yang satu arah dan tujuan dengan sekolah mereka.
    Dua barisan panjang bak kereta api menghiasi salah satu sisi jalan utama desa itu. Siswa yang berseragam biru putih membuat kesan sambungan disetiap jarak antar sepeda di depan dan belakang. Namun pemandangan ini hanya dapat dilihat pagi dan tengah hari saat siswa-siswi pulang sekolah.
Di tengah jalan,
“ Tooooooooooot” Tiba-tiba kelakson keras dari truk traller serentak mengejutkan siswa-siswi di sisi jalan.
“Awaaaaaas !!”  teriak Riyan
Serentak siswa-siswi turun ke bahu jalan, memebiarkan truk traller itu berlalu.
“ hampir saja truk itu mengenai sepeda ku” geram Hanif
“berbahaya sekali tadi” sambung Riyan lagi
“ iya, bersepeda satu jalan dengan segala jenis kendaraan memang bukan suatu ide yang baik Yan” sembari melanjutkan kembali perjalanan yang sempat terhenti.
“betul sekali, apa lagi saat sedang diadakan perbaikan jalan, rambu-rambu tanda hati-hati itu semakin mempersempit jalan sempit ini”
“tapi bukankah rambu-rambu itu membuat kita lebih hati-hati Yan?”
“memang benar membuat kita lebi hati-hati dan itu juga sebagai tanda peringatan bahwa ada perbaikan jalan. Namun bagaimana tidak mengganggu lihat saja rambu-rambu itu telah memakan separuh bagian jalan dan tentu saja itu semakin memepersimpit jalan kita”
“ bukankah jalan ini bukan milik kita Yan, jalan ini dibuat oleh pemerintah, tanahnya pun sudah dibeli oleh pemerintah, jadi sudah sewajarnya rambu hati-hati dipasang di jalan yang diperbaiki, agar pengguna jalan tahu kalau disitu sedang  ada perbaikan jalan”
“iya kamu memang benar, namun untuk jalan sepenting lintas kalimantan penghubung
Kalteng-sel ini dengan mobil-mobil dan kendaraan ngebut di atasnya, pemberian rambu hati-hati itu tentu sangat mengganggu, lagi pula pengguna jalan berhak mendapatkan kenyamanan berkendara karna mereka telah membayar pajak setiap tahunnya”.
“bukankah perbaikan jalan termasuk pelayanan kenyamanan berkendara Yan?”
“kalau begitu mengapa jalan di depan rumahku belum saja diperbaiki” sahut Riyan dengan suara meninggi “pemerintah seharusnya tidak hanya memperhatikan pengguna jalan, bagaimana dengan warga yang setiap harinya harus menghirup debu, sebab lambatnya perbaikan di laksanakan”
“jadi menurutmu perbaikan jalan yang dilakukan pemerintah masih lamban Yan”
“iya tentu saja” tegas Riyan
“mengapa demikian? Kita tidak bisa menjadikan sesuatu selesai dengan sekejap mata, semua butuh waktu dan proses”
Riyan terdiam, tak satu patah kata pun yang dapat dilontarkannya untuk menjaab pertanyaan Hanif. Sementara itu sepeda terus melaju. Sisi-sisi jalan yang penuh dengan tumpukan material terkadang membuat perjalanan terhenti, untuk melintas bergantian dengan kendaraan yang berlainan jalur.
Setelah beberapa lama keadaan hening tanpa ada dialog antara dua sahabat itu.
“mengapa kamu terdiam Yan ?” Hanip memecah keheningan. “apa kau tidak  bisa menjawab pertanyaanku” sambung Hanif lagi.
“bukannya aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu, aku teringat kejadian 6 bulan yang lalu” jawab Riyan dengan suara perlahan. Tiba-tiba kesedihan tampak menyelimuti mukanya.
“kejadian apa itu Riyan sahabatku ?” Tanya Hanif lirih
“sebuah truk terguling karena sumur di jalan depan rumahku, nahas kucing kesayanganku tertimpa truk itu dan mati”
“yang benar saja Yan ada sumur di jalan depan rumahmu?” tanya Hanif bingung karna memang tidak terdapat sumur di tengah jalan aspal manapun
“ lubang besar di jalan itu daripada jalan rusak, aku lebih suka menyebutnya sumur di jalan. Yang lebih memprihatinkan lagi, sejak saat kejadian itu hingga sekarang belum ada tindak lanjut dari pemerintah, karena itu pemerintah aku anggap lamban dalam penanganan perbaikan jalan”
“jadi menurutmu apa tindakan yang harus dilakukan pemerintah dalam hal ini ?”
“mungkin mereka harus menambah tenaga kerja yang diturunkan ke jalan, walalu tidak sekejap selesai setidaknya dapat diselesaikan dengan waktu yang lebih singkat”
“hahahaha…” tawa Hanif  lega
“apa yang kau tertawakan Nif ? tidak ada yang lucu”
“aku fikir kau tidak dapat menjawab pertanyaanku, ternyata kau bisa”
“itu bukan jawaban, sebenarnya itu hanya sebuah pendapat dan tidak ada yang salah dengan pendapat”
“iya benar” sahut Hanif seraya menganggukkan kepalanya “ sepuluh menit lagi lonceng sekolah akan berbunyi, sebaiknya kita memisahkan diri dari rombongan dan bersepeda lebih cepat” sambung Hanif
“baiklah, ayo lekas” jawab Riyan dengan sigap sembari mengayuh sepedanya dengan lebih cepat.
Perlahan mereka meninggalkan barisan, mendahului siswa-siswi yang lain. Tak terkecuali kendaraan yang melaju perlahan, tidak ada waktu lagi untuk mereka menunggu kendaraan itu menambah kecepatan nya.
    Setelah 5 menit mereka bersepeda, sampailah mereka pada tujuan. Keramayan bisingan kendaraan kini terganti dengan keramayan siswa-siswi yang menunggu lonceng masuk berbunyi. Setelah memarkir sepeda,
“ayo lekas Nif, waktu kita tidak banyak” sembari berlari kecil menuju kelasnya
“iya, aku pun tahu itu. Untuk apa jam tanganku ini jika kita masih terlambat masuk sekolah”
“haha benar sekali, kalau masih terlambat juga lebih baik buang saja jammu ke sumur di jalan depan rumah mu itu ”
Hahahahaha keduanya serentak tertawa.

Senin, Februari 10

SEMANGAT UNTUK MASA DEPAN

Kadang sebuah peristiwa itu tak dapat diterka, jauh dari harapan. Jika demikian niscya akan timbul kepedihan, kesedihan, kecewa hingga berujung pada sebuah tangisan. Kadang sesuatu yang tidak pernah kita sangka kehadirannya tiba didepan mata. Saat itu senang, bahagia, senyuman bahkan tawa akan mendampingi kita.
Tak semua yang kita harapkan itu akan terwujud. Dengan demikian janganlah terlalu berharap pada orang yang tidak bisa mengabulkan harapanmu atau mungkin bisa akan tetapi sulit untuk mendapatkannya. Jika hasilnya tidak seperti harapanmu maka paling tidak jangan sampai air matamu mengalir, karna yang demikian itu tidak pantas baginya.
Sebuah kesenangan, bahagia, akan datang disertai disertai dengan tawa. Tetapi tidak selamanya kita akan tertawa. Suatu saat air mata takkan dapat dibendung lagi. Penderitaan, kekecewaan, kesedihan itu kadang dapat mengalirkan air mata, tapi tidak selamanya akan terus begitu. Selama kita mempunyai kemauan dan semangat tidak mustahil segi tiga bermudapun dapat kita renangi. Bulatkan tekad, satukan semangat, bersama kita anak-anak bangsa. Bangun masa depan Indonesia yang cerah.

Hanya Kami yang Tersisa


“Jati sebaiknya kita segera bertindak, panggil monyet-monyet itu dan usir mereka”
“tidak mengapa, aku punya pirasat baik tentang mereka”
“pirasat apa? Binatang-binatang itu makin ganas dan tanpa pandang bulu”
“Aku harap pirasatku benar”
“ku harap begitu”

_______
“Ibuuuuu” teriakku
“orang-orang itu datang lagi” keluhku.
“sudahlaaah itu memang pekerjaan mereka, lagi pula mereka berjanji akan menanamnya kembali”
    Begitulah dialog yang selalu terjadi dengan ibu saat dua atau tiga suara gergaji mesin meratakan hutan belakang rumah. Sudah sejak tiga hari yang lalu aku tidak bisa menikmati tidur siang yang sudah menjadi kebutuhan primerku. Siang hari terasa seperti didalam oven begitu juga malam hari, peluh tanpa henti mengalir membasahi kasur. Setiap menit aku selalu berburu air minum dan sekedar menyegarkan muka. Hal-hal yang tidak terjadi saat ranting pohon masih menyentuh atap dapur rumah. Satu-satunya yang baik dari pembukaan lahan di belakang rumah itu tidak lagi kehilangan baju atau makanan yang diambil oleh penghuni-penghuni pohon.
    Beberapa hari berikutnya, truk-truk besar saerta eksavator membuat daerah pinggiran ini benar-benar tercemar oleh suara dan asap, tak terkecuali debu.
“Ibuuu, mereka semakin berisik bisakah kau bilang pada merka untuk berhenti sejenak selama aku tidur siang”
“tidak bisa Ririn biarlah mereka menyelasiakan tugasnya, sebaiknya kamu ketempat nenek, disana tidak terlalu ribut”
Setelah bersepada selama lima belas menit, aku tiba dirumah nenek. Ditempat nenek sangat sejuk, pohon-pohon mangga dan rambutan rapi memagari rumah. Dibelakang rumah ada kebun rambutan dan cempedak. Kebun yang sudah seperti surga saat musim buah tiba.
“mengapa ayah tidak menanam pohon mangga dan rambutan dibelakang rumah? Pasti tidak akan ditebang” gumanku dalam hati
Aku tidak lagi tinggal dirumah bersama ayah dan ibu, sepulang sekolah aku langsung ketempat nenek, buku-buku dan baju-baju sekolah semunya ku bawa ketempat nenek. Tak terasa aku marah pada ibu yang selalu membela ayah. “ibu tidak sayang padaku lagi” pikirku. Namun nenek berkata kalau yang ayah ibu lakukan adalah untuk kebaikan dan masadepanku nantinya. Apalah yang bisa anak kelas enam SD lakukan selain hanya mengangguk dan berkata “Iya ”.
“de kita tidak bisa begini terus, monyet-monyet itu semakin ganas dan meraja lela tanpa bisa dihentikan lagi”
“iya bang, bu Hasikin juga berkeluh demikian”
“malam nanti akan ada rapat desa, abang akan bicarakan masalah ini”
“semoga beruntung bang”.
Malam semakin larut sejak rapat dibuka ba’da isya, dan semakin mendekati penghujung pembahasan. Kutengok arlojiku yang sudah mendekati jam sembilan. ”ah... apa monyet-monyet ini aku masukkan disini? Sebaiknya ku utarakan lain kali saja” keraguan mulai menyelimuti hati, karna kulihat orang-orang yang hadir dalam rapat itu sudah seperti cacing kepanasan yang sebentar-sebentar menengok jam dinding masjid.
“Baiklah bapak-bapak demikian rapat kita......”
“tunggu sebentar....” potong salah seorang peserta rapat, yang sejak pertama rapat tidak mengangkat suaranya sedikitpun
“masalah monyet yang menyerang rumah-rumah warga, saya punya usul bagaimana kalau kita tebang sebagian pohon-pohon agar tidak terlalu menempel kerumah?” sambungnya lagi.
Suasana rapat mulai ricuh anggota rapat saling bicara dengan orang didekatnya, entah karena malam yang kian larut atau masalah monyet mamang harus dimusyawarahkan. Aku hanya bisa bersyukur dalam hati karena ada orang yang lebih berani berfikiran sama sepertiku. Keadaan masih berlangsung demikian hingga pimpinan rapat angkat suara,
“baiklah bapak-bapak, saya harap semuanya tenang ini tempat ibadah tidak baik berbicara terlalu keras”, Keadaan mulai kondusif kembali.
“ma’af sebelumnya karena saya terlambat menanggapi masalah ini karena tidak ada warga yang datang melapor, tentang masalah yang sangat serius ini ada baiknya  segera dibiacarakan namun tidak dengan hanya sebagian kecil dari kita karena masalah penebangan pohon seperti yang dikatakan pa Hasikin bukanlah masalah sepele. Untuk malam ini kita cukupkan sampai disini, untuk bapak-bapak yang hadir disini memberitakan kepada warga yang lain bahwa kita akan mengadakan rapat besok tentang monyet-monyet yang menyerang rumah-rumah warga”.
Kewibawaan kepala desa membuat seluruh peserta rapat mengangguk setuju atas apa yang dikatakannya. Begitu pula aku.
Esok haripun tiba walau terasa begitu lama, keseriusan warga dalam membicarakan masalah monyet tergambar dalam jumlah warga yang hadir di balai desa. Dengan beragam rupa dan betuk profesi semua berkumpul membicarakan suatu masalah penting.
Keadaan sudah sangat heboh, sejak kepala desa pertama kali membuka rapat. Sebagian besar warga menyetujui usulan untuk penebangan pohon, sebagian lagi tidak setuju sama sekali. Dan ada beberapa orang bijak yang mengambil jalan tengah dengan mendatangkan pengawas hutan agar menangkap monyet-monyet liar dan nakal itu. Aku hanya berdiam dan menyimak perang argumen dan alasan antra yang setuju dan tidak setuju, yang sudah seperti debat tanpa moderator. Keduanya saling berisi keras, namun karena pihak yang mendukung penebangan pohon lebih banyak maka pihak mereka yang memenangkan perdebatan.
Keputusan rapat tetap saja di tangan kepala desa, dengan segenap kemampuan yang ia miliki pak kepala desa tampak terdiam dan befikir keras atas masalah yang ia hadapi. Keputusannya dapat menimbulkan perpecahan yang memang semula sudah ada keretakan atau membuat warga semakin solid hubungannya. Kepala desa meminta kami untuk bersalawat kepada Nabi dan berdoa agar diberikan keputusan yang terbaik. Sampai mengajak untuk sholat istikharah bagi kami orang-orang muslim. Kemudian setelah jam 12.00 sejak musyawarah dimulai jam 07.00 pagi pak kepala desa membuat suatu keputusan yang tak dapat ditolak dan juga tak dapat disanggah oleh siapa pun.
“Penebangan pohon akan dilakukan sejauh 20 meter dari  setiap rumah, tapi bagi setiap warga yang belakang rumahnya telah ditebang pohon wajib menanam pohon berjenis buah-buahan apa saja. Karena melihat dari ke’adaan bahwa monyet menyerang rumah karena tidak memiliki makanan di hutan”
Dengan kewibawaan yang ia miliki, tak ada seorang pun yang berani membantah kata-kata pak tua beranak enam itu. Penasaran dengan tindakan selanjutnya akupun angkat suara,
“Kapan penebangan akan dilakukan?”
“Besok pagi, di waktu yang tersisa hingga sore hari ini kita siapkan alat-alat untuk bekerja besok. Bagi warga yang tidak mampu bekerja, diharapkan sumbangsihnya untuk membawakan makanan atau minuman bagi para pekerja”.
Akupun begitu lega, terbayang dalam benakku kalau aku tidak lagi harus membunyikan lonceng di belakang rumah tiap menit saat monyet menyerang. Kadang masih kebobolan saat kami sekeluaga tidur siang. Handuk, baju, panci, dan alat-alat dapur kerap kali lenyap saat aku dapati sekitar sepuluh atau dua puluh monyet telah memasuki dapur tanpa atap rumahku.

Tok...tok..tok ... sreeek sreeek sreeeek.,
“bapa, sudah lah istirahat dulu..”
Suara akrab yang begitu merdu terdengar samar di sela petukan palu di atas papan-papan yang telah ku rangkai untuk  membuat pot-pot berbagai ukuran.
“iya taruh saja kopinya disitu, sedikit lagi bu, tanggung”.
“bapa ini gimana, dari kemaren-kemaren juga bilangnya begitu, sudah lah pa bibit pohon itu tidak akan lari ko”
“tidak bisa bu, kalau tidak segera di pindahkan di pot yang lebih besar bibit pohon ini tidak bertahan lama”.
“mau jadi apa halaman rumah kita ini pa, hutan? Wong gak pernah ada yang beli ko”
“ibu ini bisanya ngejek saja, nanti ibu akan lihat hasilnya kalo sudah waktunya”
“gimana orang mau beli pa wong yang bapa jual pohon buah semua?”
“memangnya apa yang salah bu?”
“bapak ini gimana wong kepala desa gak tau masalah warganya”
“masalah apa bu”? Aku menghentikan pekerjaan ku dan menyimak seksama kata-kata istri ku tercinta seraya mendekatinya.
“itu loh pa, monyet-monyet liar yang menyerang rumah warga semakin tak terkendali, mereka seperti  bertambah setiap hari”
“kenapa tidak ada warga yang melapor bu?” tanyaku semakin penasaran
“ibu juga taunya dari bu Hasikin yang kemaren datang kesini waktu bapa keluar kota”
“apa kata bu Hasikin bu?”
“di bilang kalo monyet-monyet tidak hanya mengambil barang-yang ada disekitar rumah, dia juga menggangu ternak dan merusak kandang-kandang ayam. Bahkan anaknya diserang monyet”
“benar-benar kelewatan, masalah ini serius sekali bu, harus segera di cari solusinya”
“ya bener itu, kepala desa ko ngurusin pohon, kepala desa itu ngurursin warganya?”
“Bukan nya gitu bu, ibu merasa sendirikan kadang aku buat cemburu karna pohon, heehe” sambil menghabiskan secangkir kopi yang telah ia bawakan.
Aku merasa malam inilah waktu yang tepat untuk mebicarakan masalah monyet, karena malam nanti terdapat rapat desa tentang  bulan maulid yang biasanya desa akan mengadakan acara peringatan disalah satu hari di bulan tersebut. Serangkayan solusi pun aku sediakan untuk membicarakan masalah serius ini.
Malam pun tiba, acara rapat tentang acara bulan maulid dapat terealisasi dengan baik hingga semua masalah terselesaikan. Ingin rasanya membicarakan masalah yang sedang melanda desa, namun hal itu tidak mungkin akulakuakan dengan hanya sebagian kecil dari warga yang hadir malam itu. Sehingga kuurungkan niatku untuk mengutarakan masalah itu. Setelah semua masalah telah dirumuskan dan acara sudah direncanakan ku tutup rapat tersebut dengan segera karena kulihat warga telah gelisah ingin segera keluar dari forum rapat. Namun belum habis kataku untuk menutup rapat, seseorang yang tidak asing bagiku memotong kataku dan berkata,
“tunggu sebentar pak kepala desa....” potong salah seorang peserta rapat, aku pun langsung menghentikan kata-kata ku. Sejenak suasana menjadi hening, pak hasikin yang memotong kata-kata ku pun juga terdiam hingga aku persilahkan ia untuk menyampaikan permasalahannya barulah ia kemudian menyambung kata-katanya.
“masalah monyet yang menyerang rumah-rumah warga, saya punya usul bagaimana kalau kita tebang sebagian pohon-pohon agar tidak terlalu menempel kerumah?”
”ternyata pak hasikin benar-benar sudah tidak tahan dengan kelakuan monyet-monyet itu, tapi masalah ini tidak bisa ku bicarakan dengan jumlah orang yang sedikit ini” guman ku dalam hati, ditengah suara riuh yang meledak setelah Pa Hasikin menyampaikan masalahnya.
Lalu keadaan mulai kondusif setelah aku beri arahan “baiklah bapak-bapak, saya harap semuanya tenang ini tempat ibadah tidak baik berbicara terlalu keras”, setelah keadaan tampak tenang, ku lanjutkan lagi kata-kataku dengan berfikir keras untuk mencari solusi selain yang diusulkan oleh Pa Hasikin. Namun penolakan mentah-mentah yang kulakukan di depan banyak orang yang menyutujui usul itu, pastilah membuatku jatuh dalam pandangan mereka, pandangan segan dan hormat yang selama ini aku perthankan.
“ma’af sebelumnya karena saya terlambat menanggapi masalah ini karena tidak ada warga yang datang melapor, tentang masalah yang sangat serius ini ada baiknya  segera dibiacarakan namun tidak dengan hanya sebagian kecil dari kita karena masalah penebangan pohon seperti yang dikatakan pa Hasikin bukanlah masalah sepele. Untuk malam ini kita cukupkan sampai disini, untuk bapak-bapak yang hadir disini memberitakan kepada warga yang lain bahwa kita akan mengadakan rapat besok tentang monyet-monyet yang menyerang rumah-rumah warga”.
Malam itu berakhir dengan dilema yang sangat kuat dalam diriku, disisi lain aku perihatin dengan keadaan wargaku, namun disisi lain menebang pohon sebagai makhluk hidup yang paling aku hormati didunia adalah suatu hal yang mustahil aku lakukan. Memang aku dapat merasakan kepedihan yang mereka rasakan, namun itu tidaklah cukup untuk menguatkan diriku menerima usulan tersebut, karena aku tidak mengalami apa yang mereka rasakan.
Desa yang aku pimpin adalah desa pinggiran sungai kapuas yang membentang dua kilometer di sisi sungai. Memang sebagian warga ada yang mendirikan rumah tepat di pinggir sungai sehingga dekat dengan air, namun sulit untuk berkebun. Sebagian besar warga lebih memilih bertempt tinggal jauh dari sungai karena dapat membuka lahan perkebunan yang dapat menghasilkan keuntungan tersendiri. Namun keadaan tidak selalu baik, tanpa sepengetahuan ku yang berrumah di tepian sungai, keadaan wargaku didalam sana sedang dilanda musibah. Entah kapan serangan-serangan monyet itu datang, yang jelas hal itu baru saja terjadi karena sekitar dua bulan yang lalu aku selalu mengontrol keadaan wargaku, hingga aku disibukkan oleh bibit, bibit pohon yang aku beli dengan niatan menjualnya kembali. Berharap esaku akan menjadi penghasil buah ternama.
Esok haripun tiba, jam enam aku sudah berada di balai desa tak lama kemudian pa Hasikin datang, dia lah warga yang datang paling pertama seteah aku. Setelah setengah jam kemudian sekitar lima puluh kepala keluarga hadir dibalai desa. Baik itu merea yang berrumah dipinggiran sungai ataumereka yang bertempat tinggal jauh dari sungai.
Rapat pun kemudian aku buka, setelah menyampaikan masalah yang menimpa desa maka aku meminta saran untuk solusi yang baik dan tepat atas masalah yang melanda desa.
Pa Hasikin dengan cepat mengacungkan tangannya, dengan nada sedikit emosi dia berkata
“kita tebang saja pohon yang menjadi rumah rumah mereka”
aku sedikit terkejut mendengar kata-kata pak hasikin, namun aku tetap menunjukkan muka datar dan meminta pendapat dengan warga yang lain. Pendapat pendapatpun satu persatu bermunculan, namun pertentangan kemudian muncul karena sebaigian warga tidak menyetujui usulan untuk penebangan pohon dengan alasan bahwa sebelumnya telah disepakati bahwa penebngan hutan tidak boleh dari yang telah ada sekarang demi menjaga kelestarian pohon-pohon langka yang memang dijaga kelestariannya oleh pemerintah.
Perang mulut dunia tiga pun terjadi, antara warga yang bertempat tinggal di tepian sungai dan jauh dari sungai, tentu saja tentang setuju dan tidaknya penebangan pohon. Sementara itu aku hanya menyimak sambil memikirkan keputusan apa yang akan aku ambil diakhir rapat nanti.
Setelah sekian lama berlangsung perang, namun jawaban atas masalah tidak juga ditemukan akhirnya aku mengajak warga untuk sholat istikharah setelah kami melangsungkan sholat djuhur. Kemudian semuanya berkumpul kembali setelah sholat istikharah.
Dari wajah mereka tergambar sepercik harapan padaku, menanti keputusan ku. Dengan persaan yang tidak menentu dan semakin panik karena para warga terus menatapku akhirnya tanpa sengaja aku membuat keputusan yang tidak mungkin akan terucap jika dalam keadaan diriku yang sesadar-sadarnya
“Penebangan pohon akan dilakukan sejauh 20 meter dari  setiap rumah, tapi bagi setiap warga yang belakang rumahnya telah ditebang pohon wajib menanam pohon berjenis buah-buahan apa saja. Karena melihat dari ke’adaan bahwa monyet menyerang rumah karena tidak memiliki makanan di hutan”
Wajah mereka tampak lega diringi dengan senyuman yang terukur indah di bibir mereka. Entah kenapa akupun merasa lega terlebih lagi tidak ada seorang pun yang membantah atau memberi masukan lain atas keputusan ku. Tak lama suasana itu berlangsung seorang warga berkata.

“Kapan penebangan akan dilakukan?” pertanyaan yang memecah ceremony kebahagiaan.
Tanpa bosa basi langsung ku jawab.
“Besok pagi, di waktu yang tersisa hingga sore hari ini kita siapkan alat-alat untuk bekerja besok. Bagi warga yang tidak mampu bekerja, diharapkan sumbangsihnya untuk membawakan makanan atau minuman bagi para pekerja”.
Esok hari datang begitu cepat, penabangan pohon diakuan seharian penuh dibawah pengawasan ku langsung. Kerja sama warga sangat berperan dalam proses penebangan pohon ini. Hari pertama dilakukan penebangan sekitar lima puluh pohon kami tebang dengan lansung menyingkirkan dan membersihkan kayu bekas tebangan dengan segala kemampuan yang kami miliki.
Biarpun wajah yang ku tunjukkan hanya tersenyum dan memberikan komando sebaik-baiknya atas keputusan yang aku buat, namun hatiku benar-benar pedih. Rasa ingin terjatuh air mata dari tempatnya namun sekali lagi kuperingatkan diriki bahwa in keputusanku.
Hari kedua kami mendatangkan alat-alat berat untuk memindahkan kayu-kayu bekas tebangan yang sudah semakin menjauh kedalam hutan. penebangan yang semakin jauh kedalam membuat pemandangan-pemandangan baru yang tidak kulihat sebelumnya. Dua pohon besar yang ranting dan cabangnya saling bersetuhan. Tampak kukuh mengungguli teman-temannya yang lain. Merasa tertarik aku pun berjalan mendekati kedua puhon tersebut yang masih berada di dalam hutan belantara, sementara penebangan terus berlanjut.
Pemandangan yang mencengankan tampak dibawah kedua pohon besar tersebut. Seluruh barang-barang warga yang hiang terkumpul disini. Penasaran dengan apa yang aku lihat, akupun berjalan lebih mendekat ke dua buah pohon itu. Mengamati dengan seksama mencari arti dari keanehan yang kudapat.
Daun-daun yang tampak masih segar berjatuhan dari pohon tersebut yang membuatku harus menengok ke atas sana karna hal itu semakin ganjil kulihat. “astaghfirullahaladim” aku terperanjat dan terjatuh di bawah ketakutanku. Entah berapa puluh atau bahkan ratusan monyet yang berdiam diri di balik rimbunan daun-daun yang mulai rontok karena usia pohon yang semakin tua. Pemandangan yang tidak akan tampak selain dari kaki pohon ini sendiri.
Tiba-tiba muncul sesuatu dibenakku, kenapa kami terfokus pada serangan monyet yang menyerang warga. Tidak melihat penyebab mengapa monyet menyerang warga. Hanya karena dia bitang yang dianggap tidak berfikir? Kesal ku dalam diri sendiri. Kemudian aku pergi meninggalkan pohon tersebut dan menemui warga yang sedang menebang pohon.
Seorang paruh baya berjalan perlahan mendekati kami, dengan parang yang ia ikat pada pinggannya ia terus berjalan menuju kaki kami, menebas semak-semak. Menciptakan jalannya sendiri. Tidak sedtikpun mata kami lepas untuk mengawai gerak geriknya. Melihat tubuh kami semakin dekat dan bingung atas barang-barang yang aku tidak tahu apa gunanya itu.
Ku jatuhkan beberapa helai rambutku untuk memberinya isyarata bahwa kami ada disini butuh pertolongan bijaknya

“akhirnya di melihat kearah kita”
“ayoo katakan padanya, kalu kita butuh pertolongan!”
“sudah ku katakan, semoga dia mengerti”
“sepertinya begitu, suara mesin-mesin gergaji itu berhenti, mereka salah sangka atas perkara yang kita maksudkan”
“iya..., Dengan sedikit pertolongan mereka, kita akan tetap hidup sebagai satu-satunya pohon ulin dan jati terbesar yang tersisa”
“terimakasih monyet-monyet, kalian boleh tinggal disini selamanya”.

Ruang Kosong

Tap.. tap.. tap...
Kupacu langkah kakiku semakin cepat, tidak berlari tidak juga berjalan. Perasaan ku sudah tidak menentu, penuh tanda tanya, kata apa yang akan aku lantunkan dikesempatan sepersekian detik di 24 jam hari ini.
Kutundukkan kepalaku, menyembunyikan wajahku dari senyumannya yang kadang kuartikan dengan kekecewaan, atau kadang senyuman itu terlihat seperti harapan, dan satu jenis senyuman yang selalu akunantikan, senyum tulus penuh kebahagiaan. Sayangnya hanya sepersepuluh dari satu sepersekian detik waktu berpapasan lah aku bisa menemukan senyum itu.
Langkah menuju titik pertemuan antara garis vertikal dan herizontal semakin dekat. Langkah-langkah lembut kecil tanpa suara membuatku tidak dapat memperkirakan kapan kami akan bertemu di titik itu. Dalam pandanganku yang terarah pada ibu jari, mustahil untuk kumelihat sekitar dengan jelas. Sehingga pertemuan itu terasa begitu lama dalam jarak kurang lebih dua meter ini.
Penasaran memaksaku membebaskan pandanganku, memastikan kapan kami akan bertemu di titik itu. Kulirik kerahnya, memperjelas alasan mengapa kami tidak bertemu di titik itu. Dia berhenti disana, membiarkaku lewat dengan senyuman terukir diwajahnya. Akupun berhenti mencari tahu alasan keberhentiannya,
“Hendak kemana kamu? Sudah tiba waktu zuhur”
“silahkan kamu duluan saja, sampaikan salamku pada Allah! Aku masih ada kelas”
Kulanjutkan langkahku, melintas dihadapanya. Sesaat kemudian dia melintas dibelakangku meneruskan langkahnya yang terhenti entah kenapa?
Sesaat kuteringat akan pesannya, “sampaikan salamku pada Allah”. Bagaimana aku harus mengatakanya, “assalamu’alaika ya Allah, assalamualaikum ya rabb?” tak juga terasa akur dilisanku. Bagaimana akau harus mengatakannya? Logika mulai berbicara, “salam biasa disampaikan kepada manusia mahluk ciptaan Allah, bagiman caranya menyampaikan salam kepada pemberi keselamatan? Apakah ada yang akan memberikan keselamatan pada yang memberikan keselamatan?” Pesan sederhana yang memaksaku memutar balikkan otak. Perang logika dan kenyataan dalam kepalaku mengiringi langkah-langkah teriring senyuman kepergianku ke masjid Dzuhur itu.
-    -      -