Senin, Maret 31

Meski Hujan tak Kunjung Reda


Hujan tak kunjung reda, sudah lebih dari setengah jam aku bersama beberapa mahasiswa lain berteduh disini. Disebuah bangunan panjang berlantai dua dengan pelataran kecil didepannya. Bangunan yang berlabelkan B2 ini menjadi bangunan yang palinga sering aku kunjungi, meski banyak bangunan-bangunan indah lain di kompleks Islamic Center kota Palangka Raya lainnya. Namun karena bangunan inilah kebanyakan ruang kelas yang aku gunakan, menjadikan setiap hariku ada disini.
Tiang-tiang balok kokoh yang berderet sepanjang pelataran bangunan dan bunga-bunga yang tumbuh tepat dibawahnya, begitu ramah saat dipandang. Menjadikan bangunan ini semakin terasa istimewa bagiku.
Tepat di tiang terpojok sebelah kanan bangunan ini. Tempat dimana aku menyandarkan diriku, menunggu hujan yang kian lebat mendera, sembari melakukan hal kesukaanku, mengamati dan menerjemahkan prilaku orang-orang yang aku lihat. Kesukaan yang juga menjadi kelebihanku atas kehendak Tuhan.
Di bangunan seberang sana, bangunan yang hanya berselatkan halaman semen dengan bangunan tempat aku berdiri. Kulihat tiga orang mahasiswi juga berteduh di pelataran yang persis sama seperti tempatku, hanya saja bangunan itu berlantai satu. Mereka tampak  mulai bosan menunggu. Salah seorang dari mereka mencoba mengobati kebosanannya dengan menikmati fitur yang tersedia di smartphone yang baru saja ia ambil dari tas,  sepertinya itu cukup berhasil, karna tampak olehku sebuah senyuaman terukir di wajahnya. Tapi tak lama kemudian mukanya memuram lalu menyimpan smart phonenya kembali kedalam tas. “heeeeh…Cinta” batinku
Sementara itu, kedua teman disampingnya sibuk dengan obrolan mereka sendiri. Mereka seperti benar-benar ada dalam kejadian yang mereka bincangkan. Gayanya, ekspresi, dan antusias yang mereka tunjukkan begitu matantap, seperti pemain sinetron sungguhan. Tampak dengan percakapan itu mereka dapat menghilangkan hawa dingin ditengah hujan yang lumayan lebat ini. Percakapan yang terlihat serius saat salah seorang temannya memulai pembicaraan, namun sesekali akan terdengar ledakan tawa serentak yang mengejutkan mahasiswa lain yang ikut berteduh disekitarnya.
Tak jauh dari tempat kuberdiri, disana sebuah lapangan basket yang tak kosong meski hujan berguyur lumayan deras. Beberapa orang anak belasan tahun asyik menikmati permainan basket yang mereka mainkan. Mereka rela menanggung resiko untuk mendapatkan kesenangan yang mereka dambakan. Tanpa tahu apa yang akan terjadi jika mereka tetap berada dibwah guyuran hujan.
Di belakang lapangan basket itu, jarak yang lebih dekat dari lapangan basket ke tempat aku berdiri. Terdapat sebuah kolam dangkal yang airnya berwarna kecoklatan. Kolam terwat dengan sedikit teratai yang tumbuh diatasnya, juga sebuah pancuran air yang sudah tak berfungsi tepat berada ditengah-tengah kolam itu. Kolam itu berbentuk separuh linggkaran yang agak memanjang dengan diameter kira-kira enam sampai 7 meter.
Menjadi keindahan tersendiri bagiku di pagi hari buta, menunggu dosen datang sambil menikmati teratai yang masih mekar. Aku biasa duduk di salah satu bangku yang tepat berada disisi melingkar kolam tersebut. Aku pandangi teratai itu sambil mengingat sang penciptanya yang maha kuasa.
Ku tengok arlojiku, sudah 35 menit sejak 15:00 hujan mulai turun. Sebagian orang yang bosan menunggu memberanikan diri menerobos hujan yang semakin deras. Wajar saja, karena bukan hujan reda yang dia tunggu, tapi dosen yang mungkin juga sedang berteduh dalam perjalanan menuju ke Institut Agama Islam Negeri di Kalimantan Tengah ini.
Walaupun banyak mahasiswa yang pulang, ketiga mahasiswi di bangunan seberang  sana, tidak juga beranjak dari tempatnya. Mahasiswi yang tampak kesal dengan smart phonenya tadi juga bergabung dengan kedua temannya yang lain. Kekecewaan di wajahnya mulai reda, sesekali dia juga turut memeriahkan ledakan tawa yang dilakukan ke dua temannya yang lain.
Beralih dari 3 orang penggosip diseberang sana, Pandanganku mulai tertuju pada anak-anak yang asik bermain basket. Dari raut wajah mereka, masih belum ada hawa dingin menyerangnya. Malah belak tawa serentak yang kulihat, saat seorang anak berbaju hijau terjatuh. Terpeleset diatas lapangan basket yang licin karna genangan air hujan.
Taklama kemudian seorang anak berbaju hitam mendekatinya, meraih tangannya dan membantunya untuk berdiri. Dari gerakan tubuh yang mereka peragakan, aku mengerti jika anak yang berbaju hitam menanyakan tentang keadaan temannya, “aku tidak apa-apa” sahut temannya dengan bahasa isyarat yang sangat aku mengerti. Kemuduan, permainan dilanjutkan kembali.
Tidak beberapa lama setelah itu, bola yang mereka mainkan terlempar kedalam kolam. Anak berbaju hitam yang menjatuhkan bola itu mendekat ke kesisi kolam, berusaha meraih bola yang terlempar tidak terlalu jauh ketengah kolam dengan tangannya, namun tanggannya yang tidak cukup panjang untuk meraih bola, membuat bola semakin larut ketengah kolam. Anak itu tidak berputus asa, dia coba raih bola itu dengan kakinya. Namun usahanya hanya membuat bola semakin ketengah. Riak kecil yang dihasilkan kecepukan kakinya membuat bola larut perlahan namun pasti ketengah kolam.
Anak itupun meminta bantuan pada teman yang telah ia bantu untuk berdiri tadi. Anak berbaju hujau itupun segera menghampirinya, lalu berdiskusi. Gemuruh hujan  lebat hanya memperdengarkan suara tetes air di atas genting multiroof tanpa menyisakan suara lain. Yang dapat aku mengerti  hanya gerakan-gerakan intruksi penuh makna dari rencana meraka.
Anak yang berbaju hitam menunjuk sebuah tongkat yang panjangnya tidak lebih dari tinggi tubuhnya. Sementara itu, temannya dengan segera menghampiri tongkat itu lalu mencoba meraih bola dengannya. Namun lagi-lagi niat untuk menepikan bola malah membuat bola semaikin larut ketengah kolam. Anak berbaju hitam itu tampak gusar meliaht usaha temannya yang tidak berhasil.
Kekecewaan mulai tergambar diwajah mereka. Hawa dingin mulai terukir dalam gerak tubuh mereka. Tiba-tiba buuum…. bola lain jatuh kedalam kolam, anak yang menjatuhkan bola itu langsung berlari ke tepi kolam, merampas tongkat yang berada di tangan anak yang berbaju hijau, lalu dengan mudah meraih bola ketepi kolam dan mendapatkannya, kemudian anak itu langsung kembali bermain tanpa membantu kedua temannya yang sedang berfikir keras mendapatkan bola yang terjatuh kekolam.
Pandanganku masih tidak lepas dari apa yang mereka lakukan. Sementara teman-teman mereka yang lain melanjutkan permainan mereka dengan bola yang lain. Kedua anak yang merasa paling bertanggung jawab atas jatuhnya bola, masih belum berhenti berusaha meraih bola yang semakin larut mendekati pancuran air. Walaupun sebenarnya mereka dapat bermain sambil menunggu bola menyebrang ke tepi lain kolam.
Anak yang berbaju hijau kemudian mendekati tumpukan ranting disisi lain kolam itu. mengambil salah satu ranting tersebut dan mematahnya sehingga tersa ideal olehnya untuk dilemparkan. Dari arah yang berlawanan dari tempat jatuhnya bola, wuuussh…. satu ranting melayang tepat mengenai bola yang sudah larut melewati pancuran air. Spontan bola yang terbentur ranting pun terdorong ketengah kembali menuju pancuran air.
Anak berbaju hitam yang dari tadi membuat riak kecil agar bola menyebrang ke tepi lain kolam, terlihat kesal dengan apa yang dilakukan temannya. Namun karena merasa sudah terlanjur ia pun ikut mengambil ranting dan melempari bola dengan ranting-ranting tersebut. Namun lemparan kedua tidak seberuntung yang pertama. Bola yang bergeser karena riak dari lemparan ranting-ranting malah tersangkut di pancuran air.  Yang sangat aku sayangkan ialah, perbuatan mereka yang sia-sia, bahkan mengotori kolam dan mengenai teratai yang tumbuh di atas kolam hingga merusaknya.
Keadaaan itu sangat mengusik pemandaganku. Namun tidak banyak yang dapat aku lakukan, dengan keadaanku dan hujan yang semakin lebat. Aku hanya dapat menatap mereka tajam. Berharap mereka mengerti apa yang aku maksudkan. ”wooy… jangan melempari kolam dengan ranting, itu akan mengotorinya dan merusak teratainya”.
Kedua anak itu menghentikan aktivitasnya saat menyadari keberadaanku. Mereka mulai mengnjauhi kolam, menemui teman-temannya. Meninggalkan begitu saja bola milik mereka yang tidak bergeming sedikitpun dari pancuran air.
Mereka mulai bermain dengan bola lain yang dapat mereka gunakan. Namun anak berbaju hitam yang menjatuhkan bola tadi hanya duduk di sebuah teras bangunan tepat di pinggir lapangan. Tampak dari raut wajahnya kekhawatiran yang dalam menyelimuti dirinya. Kini hawa dingin benar-benar menusuk tulangnya. Dia hanya jongkok, mendekapkan kedua tangannya kedada, dengan tubuhnya yang bergetar. Dia tetap seperti itu sambil memperhatikan temannya-temannya bermain ria.
Ku tengok arlojiku, sudah mengarah ke 15:55. Ketiga orang mahasiswai disana masih dengan ledakan tawanya. Pelataran kampus mulai kosong, satu persatu mahasiswa mulai pergi menerobos hujan. “mereka pasti berfikir dosen sudah tidak akan datang” batinku. Anak-anak belasan tahun yang asyik bermainpun nampaknya mulai merasakan efek hujan yang mendera mereka, namun tetap melanjutkan permainnanya.
Tidak lama berselang ketiga orang mahasiswi didepan sana, terlihat membuat kesepakatan untuk pulang dengan menerobos hujan. Mereka tampak yakin dan bersemangat dalam kesepakatan yang mereka buat. Namun baru selangkah mereka coba meninggalkan pelataran jdeeeeeer…. suara nyaring Guntur serentak mengejutkan mereka. Tanpa pikir panjang dengan cepat mereka kembali kepelatran, mendekap rekannya yang lain dan bersepakat membatalkan kesepakatan yang mereka buat.
Anak-anak yang bermain basket, mulai mengambil sepeda mereka dan beranjak pergi. Kecuali dua orang anak yang merasa paling bertanggung jawab atas  jatuhnya bola kedalam kolam. Mereka tetap berteduh di salah satu teras bangunan di samping lapangan basket. Sekekali mencuri pandanganku, berharap aku pergi dari tempat aku berdiri.
Akupun beranjak pergi, ke ruangan sektari tepat satu langkah dibelakangku. Menantikan apa yang akan mereka lakukan tanpa keberadaanku mengawasi mereka. Beruntung ruangan ini berjendela yang mengarah tepat keluar kolam. Aku siapkan sebuah kursi tepat di bawah jendela agar aku bisa duduk mengawasi apa yang akan anak-anak belasan tahun itu lakukan tanpa keberadaanku.
Dari balik kaca jelas kuliaht kedua anak itu langsung bergerak, mengambil ranting-ranting kayu lalu melempari bola dengannya. Berharap bola lepas dari pancuran air, namun itu sisa-sia, bola sudah benar-benar tersangkut. Tentu saja aku tidak membiarkan hal itu berlangsung lebih lama. Aku keluar tempat pengintaianku dengan bergegas, melibatkan diriku didalam hujan dan menghampiri kedua anak  dengan ranting yang masih tergenggam ditangannya.
Serentak mereka langsung meletakkan ranting itu ketanah, menatap kearahku dengan takut yang tergambar diwajahnya. Kudekati keduanya perlahan, “sudah aku bilang jangan melempari kolam dengan ranting”. Mereka hanya menatapku diam, tanpa kata untuk dijadikan alasan.
Buuuurrr…. tanpa pikir panjang, aku terjun ke kolam dengan perlahan dari sisi yang tidak ditumbuhi teratai, mengambil sebisa mungkin ranting-ranting yang berserakan di dalam kolam, dan melemparkannya kedarat sembari berjalan ketengah kolam untuk meraih bola yang tersangkut dipancuran.
Setelah dapat apa yang aku inginkan, akupun naik dan memberikan bola kepada kedua anak tadi. Menepuk pundaknya dan mengatakan “jangan melempari kolam dengan ranting lagi” dengan bahasaku.
Aku sangat puas ketika kekhawatiran yang tergambar diwajah mereka berganti dengan senyuman lebar. “Terimakasih ka” ucapnya, yang kemudian kubalas dengan senyuman.
Keduanya  pergi, meraih sepeda mereka lalu hilang dari pandangan mataku. Sementara ketiga mahasiswi yang perhatian mereka menjadi tertuju padaku menatapku dengan heran dan kagum. Berbisik satu sama lain sambil mencuri pandanganku, walaupun mereka tau aku tidak akan mengucapkan satupatah katapun untuk mengomen apa yang mereka bincangkan meskipun teman.
Akupun beranjak pergi untuk pulang, meski hujan tak kunjung reda. Dalam hatiku, rasa syukur tidak henti-hentinya aku ucapkan. Pada Pencipta yang memberikanku kelebihan dalam segala kekuranganku. Pada Arrahman yang memberikanku kekuatan dalam segala kelemahanku. Pada Arrahim yang memberikanku kemampuan untuk melakukan sesuatu yang orang mampu tidak dapat melakukannya. Walaupun  aku yang hanya seorang tunawicara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar