Hujan tak kunjung reda, sudah lebih dari setengah jam aku
bersama beberapa mahasiswa lain berteduh disini.
Disebuah bangunan panjang berlantai dua dengan pelataran kecil didepannya. Bangunan yang berlabelkan B2 ini menjadi bangunan yang palinga
sering aku kunjungi, meski banyak bangunan-bangunan indah lain di kompleks
Islamic Center kota Palangka Raya lainnya. Namun karena bangunan inilah
kebanyakan ruang kelas yang aku gunakan, menjadikan setiap hariku ada disini.
Tiang-tiang balok kokoh yang berderet sepanjang pelataran bangunan
dan bunga-bunga yang tumbuh tepat dibawahnya, begitu ramah saat dipandang.
Menjadikan bangunan ini semakin terasa istimewa bagiku.
Tepat di tiang terpojok sebelah kanan bangunan ini. Tempat dimana
aku menyandarkan diriku, menunggu hujan yang kian lebat mendera, sembari
melakukan hal kesukaanku, mengamati dan menerjemahkan prilaku orang-orang yang
aku lihat. Kesukaan yang juga menjadi kelebihanku atas kehendak Tuhan.
Di bangunan seberang sana, bangunan yang hanya berselatkan
halaman semen dengan bangunan tempat aku berdiri. Kulihat tiga orang mahasiswi juga berteduh
di pelataran yang persis sama seperti tempatku, hanya saja bangunan
itu berlantai satu. Mereka tampak mulai
bosan menunggu. Salah seorang dari mereka mencoba mengobati kebosanannya dengan
menikmati fitur yang tersedia di smartphone yang baru saja ia ambil dari tas, sepertinya itu cukup berhasil, karna tampak
olehku sebuah senyuaman terukir di wajahnya. Tapi tak lama kemudian mukanya memuram
lalu menyimpan smart phonenya kembali kedalam tas. “heeeeh…Cinta” batinku
Sementara itu, kedua teman disampingnya sibuk dengan obrolan
mereka sendiri. Mereka seperti benar-benar ada dalam kejadian yang mereka
bincangkan. Gayanya, ekspresi, dan antusias yang mereka tunjukkan begitu
matantap, seperti pemain sinetron sungguhan. Tampak dengan percakapan itu
mereka dapat menghilangkan hawa dingin ditengah hujan yang lumayan lebat ini. Percakapan
yang terlihat serius saat salah seorang temannya memulai pembicaraan, namun sesekali
akan terdengar ledakan tawa serentak yang mengejutkan mahasiswa lain yang ikut
berteduh disekitarnya.
Tak jauh dari tempat kuberdiri, disana sebuah lapangan basket
yang tak kosong meski hujan berguyur lumayan deras. Beberapa orang anak belasan
tahun asyik menikmati permainan basket yang mereka mainkan. Mereka rela menanggung
resiko untuk mendapatkan kesenangan yang mereka dambakan. Tanpa tahu apa yang akan
terjadi jika mereka tetap berada dibwah guyuran hujan.
Di belakang lapangan basket itu, jarak yang lebih dekat dari
lapangan basket ke tempat aku berdiri. Terdapat sebuah kolam dangkal yang
airnya berwarna kecoklatan. Kolam terwat dengan sedikit teratai yang tumbuh
diatasnya, juga sebuah pancuran air yang sudah tak berfungsi tepat berada
ditengah-tengah kolam itu. Kolam itu berbentuk separuh linggkaran yang agak memanjang
dengan diameter kira-kira enam sampai 7 meter.
Menjadi keindahan tersendiri bagiku di pagi hari buta,
menunggu dosen datang sambil menikmati teratai yang masih mekar. Aku biasa duduk
di salah satu bangku yang tepat berada disisi melingkar kolam tersebut. Aku
pandangi teratai itu sambil mengingat sang penciptanya yang maha kuasa.
Ku tengok arlojiku, sudah 35 menit sejak 15:00 hujan mulai
turun. Sebagian orang yang bosan menunggu memberanikan diri menerobos hujan
yang semakin deras. Wajar saja, karena bukan hujan reda yang dia tunggu, tapi
dosen yang mungkin juga sedang berteduh dalam perjalanan menuju ke Institut
Agama Islam Negeri di Kalimantan Tengah ini.
Walaupun banyak mahasiswa yang pulang, ketiga mahasiswi di
bangunan seberang sana, tidak juga
beranjak dari tempatnya. Mahasiswi yang tampak kesal dengan smart phonenya tadi
juga bergabung dengan kedua temannya yang lain. Kekecewaan di wajahnya mulai reda,
sesekali dia juga turut memeriahkan ledakan tawa yang dilakukan ke dua temannya
yang lain.
Beralih dari 3 orang penggosip diseberang sana, Pandanganku
mulai tertuju pada anak-anak yang asik bermain basket. Dari raut wajah mereka,
masih belum ada hawa dingin menyerangnya. Malah belak tawa serentak yang
kulihat, saat seorang anak berbaju hijau terjatuh. Terpeleset diatas lapangan
basket yang licin karna genangan air hujan.
Taklama kemudian seorang anak berbaju hitam mendekatinya,
meraih tangannya dan membantunya untuk berdiri. Dari gerakan tubuh yang mereka
peragakan, aku mengerti jika anak yang berbaju hitam menanyakan tentang keadaan
temannya, “aku tidak apa-apa” sahut
temannya dengan bahasa isyarat yang sangat aku mengerti. Kemuduan, permainan
dilanjutkan kembali.
Tidak beberapa lama setelah itu, bola yang mereka mainkan
terlempar kedalam kolam. Anak berbaju hitam yang menjatuhkan bola itu mendekat
ke kesisi kolam, berusaha meraih bola yang terlempar tidak terlalu jauh
ketengah kolam dengan tangannya, namun tanggannya yang tidak cukup panjang
untuk meraih bola, membuat bola semakin larut ketengah kolam. Anak itu tidak
berputus asa, dia coba raih bola itu dengan kakinya. Namun usahanya hanya
membuat bola semakin ketengah. Riak kecil yang dihasilkan kecepukan kakinya
membuat bola larut perlahan namun pasti ketengah kolam.
Anak itupun meminta bantuan pada teman yang telah ia bantu
untuk berdiri tadi. Anak berbaju hujau itupun segera menghampirinya, lalu berdiskusi.
Gemuruh hujan lebat hanya
memperdengarkan suara tetes air di atas genting multiroof tanpa menyisakan
suara lain. Yang dapat aku mengerti
hanya gerakan-gerakan intruksi penuh makna dari rencana meraka.
Anak yang berbaju hitam menunjuk sebuah tongkat yang
panjangnya tidak lebih dari tinggi tubuhnya. Sementara itu, temannya dengan
segera menghampiri tongkat itu lalu mencoba meraih bola dengannya. Namun
lagi-lagi niat untuk menepikan bola malah membuat bola semaikin larut ketengah
kolam. Anak berbaju hitam itu tampak gusar meliaht usaha temannya yang tidak
berhasil.
Kekecewaan mulai tergambar diwajah mereka. Hawa dingin mulai
terukir dalam gerak tubuh mereka. Tiba-tiba buuum…. bola lain jatuh kedalam
kolam, anak yang menjatuhkan bola itu langsung berlari ke tepi kolam, merampas
tongkat yang berada di tangan anak yang berbaju hijau, lalu dengan mudah meraih
bola ketepi kolam dan mendapatkannya, kemudian anak itu langsung kembali
bermain tanpa membantu kedua temannya yang sedang berfikir keras mendapatkan
bola yang terjatuh kekolam.
Pandanganku masih tidak lepas dari apa yang mereka lakukan. Sementara
teman-teman mereka yang lain melanjutkan permainan mereka dengan bola yang
lain. Kedua anak yang merasa paling bertanggung jawab atas jatuhnya bola, masih
belum berhenti berusaha meraih bola yang semakin larut mendekati pancuran air. Walaupun
sebenarnya mereka dapat bermain sambil menunggu bola menyebrang ke tepi lain
kolam.
Anak yang berbaju hijau kemudian mendekati tumpukan ranting
disisi lain kolam itu. mengambil salah satu ranting tersebut dan mematahnya
sehingga tersa ideal olehnya untuk dilemparkan. Dari arah yang berlawanan dari
tempat jatuhnya bola, wuuussh…. satu ranting melayang tepat mengenai bola yang
sudah larut melewati pancuran air. Spontan bola yang terbentur ranting pun terdorong
ketengah kembali menuju pancuran air.
Anak berbaju hitam yang dari tadi membuat riak kecil agar
bola menyebrang ke tepi lain kolam, terlihat kesal dengan apa yang dilakukan
temannya. Namun karena merasa sudah terlanjur ia pun ikut mengambil ranting dan
melempari bola dengan ranting-ranting tersebut. Namun lemparan kedua tidak
seberuntung yang pertama. Bola yang bergeser karena riak dari lemparan
ranting-ranting malah tersangkut di pancuran air. Yang sangat aku sayangkan ialah, perbuatan
mereka yang sia-sia, bahkan mengotori kolam dan mengenai teratai yang tumbuh di
atas kolam hingga merusaknya.
Keadaaan itu sangat mengusik pemandaganku. Namun tidak banyak
yang dapat aku lakukan, dengan keadaanku dan hujan yang semakin lebat. Aku
hanya dapat menatap mereka tajam. Berharap mereka mengerti apa yang aku
maksudkan. ”wooy… jangan melempari kolam
dengan ranting, itu akan mengotorinya dan merusak teratainya”.
Kedua anak itu menghentikan aktivitasnya saat menyadari keberadaanku.
Mereka mulai mengnjauhi kolam, menemui teman-temannya. Meninggalkan begitu saja
bola milik mereka yang tidak bergeming sedikitpun dari pancuran air.
Mereka mulai bermain dengan bola lain yang dapat mereka
gunakan. Namun anak berbaju hitam yang menjatuhkan bola tadi hanya duduk di sebuah
teras bangunan tepat di pinggir lapangan. Tampak dari raut wajahnya
kekhawatiran yang dalam menyelimuti dirinya. Kini hawa dingin benar-benar
menusuk tulangnya. Dia hanya jongkok, mendekapkan kedua tangannya kedada, dengan
tubuhnya yang bergetar. Dia tetap seperti itu sambil memperhatikan temannya-temannya
bermain ria.
Ku tengok arlojiku, sudah mengarah ke 15:55. Ketiga orang
mahasiswai disana masih dengan ledakan tawanya. Pelataran kampus mulai kosong,
satu persatu mahasiswa mulai pergi menerobos hujan. “mereka pasti berfikir dosen sudah tidak akan datang” batinku. Anak-anak
belasan tahun yang asyik bermainpun nampaknya mulai merasakan efek hujan yang
mendera mereka, namun tetap melanjutkan permainnanya.
Tidak lama berselang ketiga orang mahasiswi didepan sana, terlihat
membuat kesepakatan untuk pulang dengan menerobos hujan. Mereka tampak yakin
dan bersemangat dalam kesepakatan yang mereka buat. Namun baru selangkah mereka
coba meninggalkan pelataran jdeeeeeer…. suara nyaring Guntur serentak
mengejutkan mereka. Tanpa pikir panjang dengan cepat mereka kembali kepelatran,
mendekap rekannya yang lain dan bersepakat membatalkan kesepakatan yang mereka buat.
Anak-anak yang bermain basket, mulai mengambil sepeda mereka
dan beranjak pergi. Kecuali dua orang anak yang merasa paling bertanggung jawab
atas jatuhnya bola kedalam kolam. Mereka
tetap berteduh di salah satu teras bangunan di samping lapangan basket. Sekekali
mencuri pandanganku, berharap aku pergi dari tempat aku berdiri.
Akupun beranjak pergi, ke ruangan sektari tepat satu langkah dibelakangku.
Menantikan apa yang akan mereka lakukan tanpa keberadaanku mengawasi mereka. Beruntung
ruangan ini berjendela yang mengarah tepat keluar kolam. Aku siapkan sebuah
kursi tepat di bawah jendela agar aku bisa duduk mengawasi apa yang akan
anak-anak belasan tahun itu lakukan tanpa keberadaanku.
Dari balik kaca jelas kuliaht kedua anak itu langsung
bergerak, mengambil ranting-ranting kayu lalu melempari bola dengannya.
Berharap bola lepas dari pancuran air, namun itu sisa-sia, bola sudah
benar-benar tersangkut. Tentu saja aku tidak membiarkan hal itu berlangsung
lebih lama. Aku keluar tempat pengintaianku dengan bergegas, melibatkan diriku
didalam hujan dan menghampiri kedua anak
dengan ranting yang masih tergenggam ditangannya.
Serentak mereka langsung meletakkan ranting itu ketanah,
menatap kearahku dengan takut yang tergambar diwajahnya. Kudekati keduanya
perlahan, “sudah aku bilang jangan
melempari kolam dengan ranting”. Mereka hanya menatapku diam, tanpa kata
untuk dijadikan alasan.
Buuuurrr…. tanpa pikir panjang, aku terjun ke kolam dengan perlahan dari sisi
yang tidak ditumbuhi teratai, mengambil sebisa mungkin
ranting-ranting yang berserakan di dalam kolam, dan melemparkannya kedarat
sembari berjalan ketengah kolam untuk meraih bola yang tersangkut dipancuran.
Setelah dapat apa yang aku inginkan, akupun naik dan
memberikan bola kepada kedua anak tadi. Menepuk pundaknya dan mengatakan “jangan melempari kolam dengan ranting lagi”
dengan bahasaku.
Aku sangat puas ketika kekhawatiran yang tergambar diwajah
mereka berganti dengan senyuman lebar. “Terimakasih ka” ucapnya, yang kemudian
kubalas dengan senyuman.
Keduanya pergi, meraih
sepeda mereka lalu hilang dari pandangan mataku. Sementara ketiga mahasiswi
yang perhatian mereka menjadi tertuju padaku menatapku dengan heran dan kagum.
Berbisik satu sama lain sambil mencuri pandanganku, walaupun mereka tau aku
tidak akan mengucapkan satupatah katapun untuk mengomen apa yang mereka
bincangkan meskipun teman.
Akupun beranjak pergi untuk pulang, meski hujan tak kunjung
reda. Dalam hatiku, rasa syukur tidak henti-hentinya aku ucapkan. Pada Pencipta
yang memberikanku kelebihan dalam segala kekuranganku. Pada Arrahman yang
memberikanku kekuatan dalam segala kelemahanku. Pada Arrahim yang memberikanku
kemampuan untuk melakukan sesuatu yang orang mampu tidak dapat melakukannya.
Walaupun aku yang hanya seorang tunawicara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar