Saat kabut mulai tersingkap, dan matahari sudah siap mengangkasa. Walau masih buyar ku lihat bumi disekitarku dan sepasang tahimata yang masih melekat di setiap sisinya kuraba sekitarku kearah sumber suara yang memaksaku untuk menepi dari pelayaran mimpi yang samar namun indah jika benar terjadinya lalu mematikan sumber suara yang ternyata jam alaramku seraya melihat jarum jam yang tidak begitu jelas menunjukkan 06.30.
Seketika dunia menjadi benar-benar nyata, tak ada lagi perahu yang membawaku berlayar nan jauh ketengah samudera, ku sapu kedua sudut mataku dengan pergelangan atas tangan kanan ku yang masih kaku kurasa. kemudian menepuk-nepuk pipiku beberpa kali memastikan aku benar-benar telah terbangun dipagi yang selalu penting dan dinantikan setiap orang.
Pagi selalulah menjadi teka-teki yang tak jelas apakah aku kan kembali padanya, ataukah aku terlewat dan menjumpai siang hari disaat ku membuka mata. Atau aku terlelap dan hanya akan terbangun di alam lain disisi dunia fana ini. Kadang aku bersukur dengan kemajuan teknologi yang bisa membantu melakukan apa saja, namun terkadang kubenci kemajuan itu karena keindahan dan ketertarikanku padanya tak memepertemukanku pada pagi. Walau dia juga yang mempertemukanku.
Satu hal dipagi hari yang selalu aku rindukan dan tak akan pernah aku lewatkan. Sungai kecil yang terkadang masam terkadang jagu tawar. Air ajaib yang terkadang jernih juga keruh. Saat pasang yang ku nanti dan saat surut yang ku benci. Namun semua itu sama saja dipagi hari hari yang berembun di desa Ku ini. Sedikit asap yang keluar dari permukaan sungai menandakan seolah ia berkata bahwa aku hangat. Namun udara yang berembun berkata bahwa air akan menambah rasa dingin pada tubuhmu. “kau akan tahu Semua itu bohong jika kau terjun padaku” bisik air saat aku membelai-belainya. Benarlah adanya aku tak ingin keluar dari dekapan air saat aku telah berada didalamnya. Karna jika aku keluar, udara berembun akan mendendam padaku
Secangkir kopi dan seteko teh disertai beberpa kue “untuk” yang selalu tersaji di bawah tudung pada pagi hari berembun yang terkumpul menjadi sebutir air di atas daun talas lalu perlahan mengalir jatuh mebasahi bumi yang semakin mengering seiring meluncurnya mata hari ke angkasa selalu tersedia untuk keluarga kecil sederhanaku. Cangkir bening yang menghitam ialah santapan ayah, sedang gelas-gelas kecil yang mulai terlihat memerah adalah untukku beserta kedua adik mungilku yang masing-masing telah terjepit “untuk” di ujung jarinya. Tapi bukanlah tanpa nasi atau lauk dipagi itu, namun itulah yang dilakukan setiap rumah di desa mungilku ini utnuk menyambut hari.
“Ekonomis bukan?”
Kata ayahku saat kutanya mengapa tak sarapan dengan nasi dan lauk.
Masih dipagi hari, saat aku berlabuh lebih awal dari pelayaranku. Mentari belum menampakkan tanda-tanda kehadirannya, daun talas yang masih berupa embun diatasnya, namun lolongan ayam jantan telah memeriahkan keadaan sunyi senyap sebelum tiba waktu subuh ini. Masih dengan secangkir kopi namun kali ini tanpa “untuk” besertnya, sebab tiada warung atau “acil” yang biasa melintas untuk menawarkan “untuk” didepan rumahku. Ayah pergi dengan pahat pengukir pohon “gatah” beserta sebuah teng 20 liter terikat diboncengan belakang sepeda tua ontelnya. Untuk menerjang gelap menuju kedaam handil yang lebih gelap agar menemukan cahaya untuk melanjutkan kehidupan. “memantat” yaah begitulah kami biasa menyebut pekerjaan yang sangat popular itu di desa berkecamatankan Kapuas timur ini.
Masih dapat kusebut pagi, saat seteko teh dan beberapa “untuk” di ujung jari-jari adikku telah menganjal lambung. Saat ayah masih didalam hutan karet dan ibu masih mencuci di tepi sungai. Kuraih sepedaku untuk menyertai sederet sepeda yang dikuasai oleh pengguna baju putih dan celana biru yang bersusun panjang membentuk gerbung-gerbong kereta api yang bersambungan ditepi jalan Anjir yang tidak pernah sepi dari halauan truk-truk besar yang bising dan menyisakan debu. Namun begitu jalan ini anti macet. Hal demikian itu tidak lah menyurutkan semangat anak-anak desa agar tidak buta agama disamping orang-orang modern yang berlomba dengan ilmu-ilmu teknologi yang anak desa fikir ilmu itu tidaklah akan berguna untuknya. Lalu kusertai mereka dengan membentuk gerbong baru yang mungkin akan terus memanjang seiring perjalanan 5 kilo meter menuju sekolah. Merekalah gerbong-gerbong panjang yang membuat truk-truk besar harus bersabar memperlambat lajunya.
Secangkir kopi dan seteko teh beserta beberapa “untuk” dipagi yang berembun yang terkumpul menjadi sebutir air di atas daun talas lalu perlahan mengalir jatuh mebasahi bumi yang semakin mengering seiring meluncurnya mata hari keangkasa, aku telah bersiap dengan kapak kecil yang ku pikul dibahu. Kuhadapi tumpukan potongan-potongan kayu ”galam” yang setiap harinya ayah bawa sepulang dari hutan karet. Sudah seminggu sejak tumpukan kayu minggu sebelumya telah aku habiskan. Ini adalah tumpukan kayu minggu ini. Jika disebut pekerjaan berat tidak juga, malah inilah pekerjaan teringan anak seusiaku di desa. Teman-temanku adalah pekerja-pekerja kasar yang menerjang kedalam hutan, menebang pohon-pohon besar dan membawanya kedesa dari dalam handil yang tidak kurang dari 5 kilo meter jaraknya ke desa.
Secangkir kopi dan seteko teh beserta beberapa “untuk” dipagi yang berembun yang terkumpul menjadi sebutir air di atas daun talas lalu perlahan mengalir jatuh mebasahi bumi yang semakin mengering seiring meluncurnya mata hari keangkasa selalu tersedia di bawah tudung nasi sejak 5 tahun kepindahan kami ke desa pinggiran kabupaten Kapuas ini. Namun hal sederhana itu tidak akan disambut lambungku lagi disetiap pagi saat ayah memutuskan untuk menyekolahkanku keluar daerah.
“Kalimantan tengah adalah seterkebelakang pendidikan di pulau besar bornoe ini, ayah tidak ingin engkau berakhir seperti ayah. Sudah saatnya untuk menempuh pendidikan yang lebih berkualitas di tanah orang”.
‘aku tidak mau, aku ingin melanjutkan sekolah menengahku ditanah tempat dimana aku dilahirkan ini, aku cinta “untuknya” aku suka air hangat yang menyegarkan pagi hariku, aku tak ingin terpisah dari gerbong sepeda kokoh yang membuat supir-supir liar bersabar, aku akan membelah kayu desetiap minggu pagiku’ ronta ku dalam hati. Namun tidak ada yang dapat aku lakukan saat pakayan telah terbungkus rapi dalam tas besar, ibu telah berpesan sebagai pesan terakhirnya
“jadilah anak yang akan menjadikan desa mu ini lebih maju, buktikan pada ayahmu jika anjirlah desa terbaik didunia jika kau benar-benar mencintai desamu ini”
Masih melekat dibenakku, saat ibu melambaikan tangannya untuk yang terakhir, saat aku berbalik kebelakang dan melihat airmatanya mengalir dengan penuh harap pada anak sulung yang sendirinya tidak percaya akan menunaikan amanat ibunda tercintanya.
Menit berganti jam, jam berganti hari, hari menjadi bulan sekarang sudah dua bulan genap ku belajar di tanah orang, benarlah kata ayah kalau Kalimantan adalah yang paling rendah tingkatan pendidikannya, benar lah kata-kata ibu, aku memang harus menjadi seperti pesannya.
Rindu yang kian tebal menumpuk di permukaan hati, bahkan mulai meresap kedalamnya telah berimbas sampai ke mata hingga tak tertahan untuk membendung airnya. Namun sepucuk surat di awal bulan yang disertai sedikit bekal dari ibu datang sebagai obatnya. Pesan pesan sabar disertai kisah-kisah sahabat nabi Muhammad SAW dahulu yang gigih menuntut ilmu tak kenal lelah bahkan rela berkeliling dunia untuk ilmu. Begitulah saat sedih dan rindu yang dalam melanda mental, hati dan semangatku, kubaca kembali surat-surat ibuku tercinta yang terkadang membuatku menangis bahagia. Kala ibu mengingatkan tentang Secangkir kopi untuk ayah dan seteko teh di pagi yang berembun untuk kami anak-anak tercintanya dan tak lupa satu kue “untuk” yang tak bisa kudapati di bumi jauh yang terpisah dengan lautan dari tanahku ini.
Dimalam yang cerah dikolong langit temboro tempatku menuntut ilmu ini, tak pernah lepas aku sampaikan pesan pada yang maha kuasa, agar denga tangan kuasanya selalu melindungi dan mencukupi ayah ibu yang bertumpu harap dipundak ku ini, juga mengampuni segala dosa-dosanya memberikan mereka umur panjang. Juga pada adik-adikku agar menjadi penerusku nantinya, dan tentunya untukku agar aku bias menunaikan amanat dan harapan ibu dan seluruh masyarakat di tanah kelahiranku.
Ku habiskan bertahun-tahun di tanah orang ini menggali ilmu sebanyak mungkin yang aku bias hingga pada tahun kelima belas kuputuskan untuk mencukupi pencarianku. Dan kembali desa yang tak pernah sedetikpun aku lupa, terlebih pada teh khas ibu yang tidak dapat tergantikan rasanya dimanapun saat kunikmati di pagi hari yang berembun.
Kembali bukanlah untuk bersenang-senang atau hanya untuk melepas rindu. Bukanlah lagi saatku untuk bermain dengan air dipagi hari yang berembun, atau membelah kayu dihari minggu, karna tugas itu telah menurun pada kedua adikku. Membayangkan betapa sulitnya mengubah suatu masyarakat ialah seperti melintasi jembatan tali yang telah di beri pelicin tanpa ada tempat untuk berpegangan lalu dilempari dengan batu terlebih lagi dibawah jembatan itu telah hadir buaya yang siap melahap kapanpun aku terjatuh. Jadi aku harus tetap menyebrangi jembatan itu apun yang terjadi walau harus berdekap menggantung atau merayap diatasnya karena inilah tujuanku menuntut ilmu sejak awal.
Sebagai seorang pemuda diumurku yang ke 24 tahun, tetua-tetua desa menaruh tanggung jawab besar dipundakku. Dipercaya sebagai pemuka agama merupakan sebuah kelonggaran dijembatan yang akan akulewati, setidaknya tidak akan adalagi lemparan-lemparan batu yang siap menjatuhkanku. Terkadang aku berguman dalam hati, apa aku bias melakukan tugasku?
“semua diawali dari hal yang kecil, memperbaiki akhlak dan pemahaman orang tentang agama itu adalah bagian paling mendasar untuk mengubah suatu kaum. Bukan kah kau tahu bahwa keberkahan dan kemakmuran akan datang pada kaum atau masyarakat yang penduduknya taat kepada Arrahman, seperti madinatul munawaroh” kata ayahku dengan tenang saat ku tanyakan tentang keraguan yang mengganggu.
Dalam sebuah surat dari ibu yang selalu kubaca tercantum 3 kalimat yang tidak akan pernah kulupakan “jadilah orang besar, niscaya kesuksesan akan mengikutimu. Jadilah orang yang bertaqwa, niscaya surga adalah rumahmu. Dan jadilah orang yang terpercaya, niscaya dunia akan tunduk padamu”.
Kembali Secangkir kopi dan seteko teh disertai beberpa kue “untuk” yang tersaji di bawah tudung pada pagi hari berembun yang terkumpul menjadi sebutir air di atas daun talas lalu perlahan mengalir jatuh mebasahi bumi yang semakin mengering seiring meluncurnya mata hari ke angkasa. Dan kuhampiri sungai desaku untuk pertamakalinya setelah yang kesekian lamanya. Seorang lelaki paruh tidak kukenal perlahan mendekat menghampiriku di tepi pelabuhan yang biasa kujadikan lompatan untuk terjun ke sungai lalu berkata,
“nak, lompatanmu kedalam air di pagi yang berembun menjadikanmu sejuk dan hangat. Tapi ini hanyalah sebuah lompatan kecil yang bisa kau rasakan manfaatnya hanya jika kau masih berada didalam air. Buatlah lompatan besar untuk kesejukan hidupmu hingga akhir hayat”
Sejenak ku berfikir dan memahami maksud orang ini. Di pagi yang berembun dengan mata hari yang semakin meninggi aku memutuskan untuk mengurungkan lompatan kecilku dan membuat lompatan besar yang akan memberikan kesejukan sepanjang hidupku.
“sebagi calon mertuamu nak, aku sudah tahu segala kebaikanmu, sekarang katakanlah namamu!”
“namaku Ahsani Taqwiim”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar