Rabu, November 12

Mulia tak Harus di Tempat Mulia



Hari ini seperti biasanya, aku dan teman-temanku dipajang di depan toko, menunggu seseorang datang dan membeli salah satu dari kami, kemudian memakainya, agar hidup kami menjadi bermakna.
            Sudah hampir dua bulan sejak aku dibuat, sejak itu pula aku berpindah-pindah toko. Setelah sekian kali aku diperjual belikan, namun belum ada seorang pun diantara mereka yang memungutku. Hari-hariku menjadi hari penantian. Kuharap kali ini, di toko kecil ini, seseorang memungutku untuk mengakhiri penantian ini dan membuat hidupku menjadi lebih berarti.
            Dua jam sudah, di hari pertamaku sejak toko ini pertamakali dibuka. Tak sedetikpu dari dua jam itu kulewatkan untuk memohon pada yang maha kuasa agar seseorang memungutku. Aku sangat senang setiap kali mendengar.. “pamaaan” atau “permisiii” pertanda seseorang datang untuk membeli sesuatu. Namun kekecewaan yang tiada tara menusuk hatiku saat dia berkata “tukar yaa” tanpa memngutku, atau setidaknya melirik padaku atau datang dan memilah-milahkami, hal itu sudah sangat berarti. Wajar lah, sandal jenisku ini sudah ketingalan jaman di era ini. Hanya orang kampungan yang mau membeli kami.
            Srek.. srek...
Tiba-tiba, seseorang menyentuhku tanpa tanda dan aba-aba sebelumnya...
            “Yang mana Dek, yang ini?” tanya pemilik toko sambil menunjukkan slah seorang dari rekanku.
            “Yang itu Man, yang warnanya biru”. Sahut seorang anak kecil, seraya menunjukkan jarinya kearahku. Aku sangat gembira melihatnya.
            “Nomor enam ini Dek? Ini pas sama kaki kamu?” tanya paman toko kembali, sambil memungut salah seorang rekanku yng lain. Prasaanku mulai tak karuan.
            buka man, yang disampingnya itu lo, nomor sebelas” sahutnya seraya melompat-lompat meraihku karna tubuhnya yang kecil.
            “ini ya? Harganya 7500”
Ctus... tarik pemilik toko, memisahkanku dari rekan-rekanku. Dalam hati aku merasa sangat senang seseorang memilihku. Disisi lain aku tidak tega melihat teman-temanku masih tergantung didepan toko untuk menunggu pembeli lain memilihnya.
Aku mulai berfikir betapa besar anugerah dari tuhan untuk manusia, karena hidup mereka ditakdirkan untuk memilih, namun begitu masih banyak manusia bodoh yang memilih kebakhilan. Sedang kami hanya pasrah untuk dipilih dan tidak dapat menentukan akan menjadi apa kami nantinya, tergantung pemilik kami, begitupun juga padaku.
            Setelah dibungkus dalam kantongan plastik hitam. Bocah yang aku ingin tahu sekali namanya agar aku dapat berterimakasih dan mendoakannya ini membawaku seraya mengayun-ayunkanku di jari telunjuk tangannya. Ya..? kebahagiaan yang aku lihat dari wajahnya, begitupun aku seandainya dia tau apa yang aku rasakan, dan dapat melihat bagaimana aku menunjukkan kebahagiaanku ini.
Setelah sekian menit berlari. Anak itu mengucap salam dan mengetuk pintu. Kemudian dia masuk kedalam rumah setelah seseorang membukkannya.
“wa’alaikumussalaaaam, sandalnya dapat Dimas? Seraya membukakan pintu
“ini loh kek.. kebetulan yang warna biru dengan ukuran sebelas tinggal satu” seraya menyerahkanku kepada lelaki tua itu.
            Tidak berapa lama kemudian, terdengar suara azan Zuhur berkumandang, Lelaki tua itu segera mengeluarkanku dari bungkus plastik kemudian membuka kemasan yang sudah lama membungkusku. Udara pertama yang ingin aku hirup setelah sekian lamaadalah udara di jalan yang diridhai Allah bathinku.
            Dimas makasih ya, cucu kakek pinter, sudah adzan Dzuhur ayo Dimas siap-siap sholat. Kita kelanggarkata orang tua itu lembut sembari meletakkanku di bawah pintu didepan rumahnya.
            “Iya Keeek, kita berangkat sama-sama, jangan lupa ya! Kakek pakai sandal yang Dimas belikan tadi”. Jawab Bocah itu.
            Lagi-lagi kebahagiaan yang kurasakan, lelaki ini memasukkan kaki kanannya untuk pertama kali seraya samar kudengar membaca basmalah, “Bismillahiroohmanirrohim” kemudian membaca “Alhamdulillah” beriringan dengan memasukkan kaki kirinya. Dia bersama Bocah yang sekarang aku tau namanya itu segera beranjak meninggalkan rumah dan berjalan menuju langgar yang tak jauh dari rumah.
Sesampainya di masjid, Kakek berwudhu kemudian masuk ke masjid, sedangkan Aku menunggu di luar. Disini Aku bayak bertemu teman sejenis, walaupun dengan wajah dan bentuk berbeda-beda, aku termasuk yang biasa. Aku tetap bangga karena bisa berguna untuk kebaikan.
Setiap harinya aku diajak Kakek pergi menemanianya kemasjid, untuk shalat berjamaah, atau kerumah tetangga jika ada undangan hajatan bahkan ke pasar sampai kesungai. Terkadang kami kehujanan, kepanasan,  melalui jalan becek, atau berbatu, semuanya kami lewati bersama dengan senang hati dan bahagia. Tak lupa juga aku bersyukur karena aku selalu dibawa ketempat-tempat yang bermanfaat dan tidak pernah dibawa ke tempat maksiat bahkan yang sia-sia.
Tak terasa sudah dua bulan berlalu, keadaanku mulai memburuk, tubuhku mulai melemah, belum lagi pasak yang mengaitkan tubuhku dengan tali agar aku berfungsi dengan baik hampir putus. Aku sedih, tidak ada yang bisa kulakukan aku hanya bisa berdoa agar terus berguna untuk kebaikan.
Ctus.... oh tidak salah satu pasak yang mengaitkan tubuhku dengan tali putus, bagaimana ini? Aku panik, tiba-tiba Kakek melepasku, dan membawaku pulang kerumah.
“Dimaaas...” suara Kakek berteriak.
“Apa keeek”, sahut Dimas
“Ambilkan tang, tempat paku, dan lilin” perintah Kakek.
“Iya Kek”’ jawab Dimas.
Aku masih bingung akan menjadi seperti apa aku nantinya, aku tidak tahu apa yang akan kakek perbuat dengan tang, paku dan lilin. Namun aku tetap menunggu dan akan menerima apapun pilihan yang akan kakek lakukan terhadapku.
“Ini Kek”, kata Dimas sambil menyerahkan banrang-barang yang diminta kekeknya
“Hemm... korek apinya mana? Tanya Kakek.
“Sebentar, nanti Dimas ambilkan” Sahut Dimas.
Setelah Dimas mengambil korek api, kulihat Kakek menyalakan lilin dan membakar paku kecil yang sudah dijepit dengan tang.
“Buat apa Kek?” tanya Dimas.
“Buat benerin sandal” jawab Kakek
“owh....” gumam Dimas
Aku terus menunggu apa yang akan kakek lakukan. Beberapa saat setelah kakek memanaskan paku, paku itu terlihat memerah. Kemudian dengan cepat kakek menusukkan paku tersebut pada bagian tali yang pasaknya terputus. Sehingga paku yang melintang dapat menjadi pengganti pasakku yang sudah putus. Walaupun tidak sebaik sebelumnya, namun aku masih bias untuk digunakan. Aku senang kakek tidak mebuangku, meski keadaanku sudah tidak lagi sempurna.
“Taraa....” kata Kakek sambil menunjukkan paku yang menembus salah satu ujung tali pengait tubuhku yang sudah diperbaiki kepada Dimas.
“waah... Kakek hebat, sandalnya jadi bisa dipakai lagi” puji Dimas.
“Betul mas, tapai sandal ini sudah buruk, Kakek tida munk gkin memakainya lagi untuk dibawa jalan-jalan” timpal kakek.
“loh, kalo gitu sandalnya dipake buat apa dong?” tanya Dimas bingung.
“Dimas mau tau?” pancing Kakek.
“Iya Kek” sahut Dimas bersemangat.
“Belikan Kakek sandal yang baru dulu dong!” pinta Kakek kepada Dimas.
“oke deh..., tapi setelah Dimas belikan sandal baru, Kakek kasih tau ya sandalnya mau dipakai untuk apa....” sahut Dimas.
okeee” kata Kakek sambil mengacungkan Jempol.
Kakek segera membungkusku setalah Dimas pergi untuk membelikan sandal baru penggantiku. Dalam bungkusan plastik hitam yang gelap, aku terus bertanya-tanya. Akan digunakan untuk apa aku? Untuk maksiat? Tidak aku mohon jangan ya Robb, atau untuk melakukan hal yang sia-sia? Aku juga tidak menginginkan hal itu ya Allah.
Krsek.. kresek...
Suara plastik yang membungkusku dibuka. Aku bersiap menyambut pemilik baruku, atau dimana aku akan digunakan. Sentuhan yang bisa aku pastikan kalau itu tangan kakek menjintingku, mengeluarkanku dari dalam plastik.
Setelah kurasakan tubuhku mendarat pada sesuatu. Aku tidak melihat apa-apa diluar sini, bahkan wajah kakek. Aku hanya merasa berada diatas lantai kasar yang lembab dan sangat gelap. Kemudian kakek meninggalkanku.
Sesaat setelah kudengar kakek menutup pintu. Aku mendengar suara langkah kaki mendekat. “Ctek....” tiba-tiba cahaya lampu diruangan ini menimpa mataku, silau sekali. Dalam kesilauan ku yang berangsur memulih, samar kuliahat langit putih tepat diatasku. Setelah kuperhatikan dengan sekasama, langit itu tidak terlalu laus, hanya seukuran dua meter persegi.
Seiring pandanganku semakin membaik, perlahan aku menurunkan pandnagan untuk meliahat dan memastikan dimana aku berada saat ini. Kulihat didepanku ada bak mandi yang besar dan tinggi, disampingnya ada closet WC, kemudian gayung mandi, tempat sabun dan isinya. Sekarang aku di tempat buang hajat pikirku.
Kekecewaan serentak menyerang pikiranku. Hal yang tak pernah terpikir olehku sebelumnya. Begitu teganya kakek menempatkanku disini. Lebih baik aku digunakan untuk maksiat dan berbuat sia-sia daripada harus menapaki rumah setan setiap harinya, batinku.
“oh, disini ya sandalnya kek”, kudengar suara Dimas dibalakangku.
“iya dimas, habis WC kita tidak ada sandalnya”
“kenapa harus di WC kek, kasian kan sandalnya, setiap hari dipakai untuk nginjak najis”
“bukan begitu Dimas, daripada kaki dimas langsung yang nginjak najisnya terus dibawa kemana-mana lalu najis semua, ayo gimana?”
“iya sih kek, tapi bagaimanapun juga, sandal ini kan sebelumnya kakek bawa untuk kebaikan terus, masa akhirnya hanya untuk alas kaki di WC”
“nah itu dia, melindungi kita dari najis itu juga sebuah kabikan loh. Dimas tau gak, kalo Rosululloh itu setiap ke tempat buang hajat pakai alas kaki”
“gak tau kek?”
“pantas saja, nah mulai sekarang pakailah sandal setiap didalam WC, karna itu sunnah Rosululloh”
“oh.. begitu yaa, iya deh kek, Dimas akan selalu pakai sandal kalo di dalam WC”
“nah begitu.. Cucu pintar”
Dalam kegelapan ini aku aku terfikir lagi betapa beruntungnya aku, walau aku tidak berada ditempat yang mulia, namun aku masih berguna untuk hal yang mulia. Disinilah aku akan berakhir, menggunakan sisa-sisa kehidupanku. Dan aku merasa bangga telah menjadi bagian dari sunah Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wassalam.

Created By: Harits Nasrulloh
Edited By : Khalid Muttaqin