Hari ini seperti biasanya, aku dan
teman-temanku dipajang di depan toko, menunggu seseorang datang dan membeli salah satu dari
kami, kemudian memakainya, agar hidup kami menjadi bermakna.
Sudah hampir dua bulan sejak aku
dibuat, sejak
itu pula aku berpindah-pindah toko. Setelah sekian
kali aku diperjual belikan, namun
belum ada seorang pun
diantara mereka yang memungutku. Hari-hariku menjadi hari penantian. Kuharap
kali ini, di toko kecil ini, seseorang memungutku untuk mengakhiri
penantian ini dan membuat hidupku menjadi lebih berarti.
Dua jam sudah,
di hari pertamaku sejak toko ini pertamakali dibuka. Tak sedetikpu dari dua jam
itu kulewatkan untuk memohon pada yang maha kuasa agar seseorang memungutku. Aku
sangat senang setiap kali mendengar.. “pamaaan” atau “permisiii” pertanda
seseorang datang untuk membeli sesuatu. Namun kekecewaan yang tiada tara
menusuk hatiku saat dia berkata “tukar yaa” tanpa memngutku, atau setidaknya
melirik padaku atau datang dan memilah-milahkami, hal itu sudah sangat berarti.
Wajar lah, sandal jenisku ini sudah ketingalan jaman di era ini. Hanya orang
kampungan yang mau membeli kami.
Srek.. srek...
Tiba-tiba,
seseorang menyentuhku tanpa tanda dan aba-aba sebelumnya...
“Yang mana Dek, yang ini?” tanya pemilik toko sambil menunjukkan
slah seorang dari rekanku.
“Yang itu Man, yang warnanya biru”.
Sahut seorang anak kecil, seraya menunjukkan jarinya kearahku. Aku sangat
gembira melihatnya.
“Nomor enam ini Dek? Ini pas sama kaki
kamu?” tanya paman toko kembali, sambil
memungut salah seorang
rekanku yng lain.
Prasaanku mulai tak karuan.
“buka man, yang
disampingnya itu lo, nomor sebelas”
sahutnya seraya melompat-lompat meraihku karna tubuhnya yang
kecil.
“ini ya?
Harganya 7500”
Ctus... tarik
pemilik toko, memisahkanku dari rekan-rekanku. Dalam hati aku merasa sangat
senang seseorang memilihku. Disisi lain aku tidak tega melihat teman-temanku
masih tergantung didepan toko untuk menunggu pembeli lain memilihnya.
Aku mulai
berfikir betapa besar anugerah dari tuhan untuk manusia, karena hidup mereka
ditakdirkan untuk memilih, namun begitu masih banyak manusia bodoh yang memilih
kebakhilan. Sedang kami hanya pasrah untuk dipilih dan tidak dapat menentukan
akan menjadi apa kami nantinya, tergantung pemilik kami, begitupun juga padaku.
Setelah dibungkus dalam kantongan plastik hitam. Bocah yang aku
ingin tahu sekali namanya agar aku dapat berterimakasih dan mendoakannya ini
membawaku seraya mengayun-ayunkanku di jari telunjuk tangannya. Ya..? kebahagiaan
yang aku lihat dari wajahnya, begitupun aku seandainya dia tau apa yang aku
rasakan, dan dapat melihat bagaimana aku menunjukkan kebahagiaanku ini.
Setelah sekian
menit berlari. Anak itu mengucap salam dan mengetuk pintu. Kemudian dia masuk
kedalam rumah setelah seseorang membukkannya.
“wa’alaikumussalaaaam,
sandalnya dapat Dimas? Seraya membukakan pintu
“ini loh kek..
kebetulan yang warna biru dengan ukuran sebelas tinggal satu” seraya
menyerahkanku kepada lelaki tua itu.
Tidak berapa lama kemudian,
terdengar suara azan Zuhur berkumandang, Lelaki tua itu segera mengeluarkanku
dari bungkus plastik kemudian membuka kemasan yang sudah lama membungkusku. Udara
pertama yang ingin aku
hirup setelah sekian lamaadalah udara di jalan yang diridhai Allah bathinku.
“Dimas makasih
ya, cucu kakek pinter, sudah adzan Dzuhur ayo Dimas siap-siap sholat. Kita
kelanggar” kata orang tua
itu lembut sembari meletakkanku di bawah pintu didepan rumahnya.
“Iya Keeek, kita berangkat
sama-sama, jangan lupa ya! Kakek pakai sandal yang Dimas belikan tadi”. Jawab Bocah itu.
Lagi-lagi kebahagiaan yang
kurasakan, lelaki ini memasukkan kaki kanannya untuk pertama kali seraya samar
kudengar membaca basmalah, “Bismillahiroohmanirrohim” kemudian membaca “Alhamdulillah”
beriringan dengan memasukkan kaki kirinya. Dia bersama Bocah yang sekarang aku
tau namanya itu segera beranjak meninggalkan rumah dan berjalan menuju langgar
yang tak jauh dari rumah.
Sesampainya di masjid, Kakek berwudhu kemudian masuk ke masjid, sedangkan Aku menunggu di luar. Disini Aku bayak bertemu teman sejenis,
walaupun dengan wajah dan bentuk berbeda-beda, aku termasuk yang biasa. Aku
tetap bangga karena bisa berguna untuk kebaikan.
Setiap harinya aku diajak Kakek pergi
menemanianya kemasjid, untuk shalat berjamaah, atau
kerumah tetangga jika
ada undangan hajatan bahkan ke pasar
sampai kesungai. Terkadang
kami kehujanan, kepanasan, melalui jalan becek, atau berbatu, semuanya
kami lewati bersama dengan senang hati dan
bahagia. Tak lupa juga aku bersyukur karena aku selalu dibawa ketempat-tempat
yang bermanfaat dan tidak pernah dibawa ke tempat maksiat bahkan yang sia-sia.
Tak terasa sudah dua bulan berlalu,
keadaanku mulai memburuk, tubuhku mulai melemah, belum lagi pasak yang
mengaitkan tubuhku dengan tali agar aku berfungsi dengan baik hampir putus. Aku
sedih, tidak ada yang bisa kulakukan aku hanya bisa berdoa agar
terus berguna untuk kebaikan.
Ctus.... oh tidak salah satu pasak yang
mengaitkan tubuhku dengan tali putus, bagaimana ini? Aku panik, tiba-tiba Kakek
melepasku, dan membawaku pulang kerumah.
“Dimaaas...” suara Kakek berteriak.
“Apa keeek”, sahut Dimas
“Ambilkan tang, tempat paku, dan lilin” perintah Kakek.
“Iya Kek”’ jawab Dimas.
Aku masih
bingung akan menjadi seperti apa aku nantinya, aku tidak tahu apa yang akan
kakek perbuat dengan tang, paku
dan lilin. Namun aku tetap menunggu dan akan menerima apapun
pilihan yang akan kakek lakukan terhadapku.
“Ini Kek”, kata Dimas sambil
menyerahkan banrang-barang yang diminta kekeknya
“Hemm... korek apinya mana? Tanya Kakek.
“Sebentar, nanti Dimas ambilkan” Sahut Dimas.
Setelah Dimas mengambil korek api,
kulihat Kakek menyalakan lilin dan membakar paku kecil yang sudah dijepit
dengan tang.
“Buat apa Kek?” tanya Dimas.
“Buat benerin sandal” jawab Kakek
“owh....” gumam Dimas
Aku terus
menunggu apa yang akan kakek lakukan. Beberapa saat setelah kakek memanaskan
paku, paku itu terlihat memerah. Kemudian dengan cepat kakek menusukkan paku
tersebut pada bagian tali yang pasaknya terputus. Sehingga paku yang melintang
dapat menjadi pengganti pasakku yang sudah putus. Walaupun tidak sebaik
sebelumnya, namun aku masih bias untuk digunakan. Aku senang kakek tidak
mebuangku, meski keadaanku sudah tidak lagi sempurna.
“Taraa....” kata Kakek sambil
menunjukkan paku yang menembus salah satu ujung tali pengait tubuhku yang sudah diperbaiki kepada Dimas.
“waah... Kakek hebat, sandalnya jadi
bisa dipakai lagi” puji Dimas.
“Betul mas, tapai sandal ini sudah
buruk, Kakek tida
munk gkin memakainya lagi
untuk dibawa jalan-jalan” timpal kakek.
“loh, kalo gitu sandalnya dipake buat
apa dong?” tanya Dimas bingung.
“Dimas mau tau?” pancing Kakek.
“Iya Kek” sahut Dimas bersemangat.
“Belikan Kakek sandal yang baru dulu
dong!” pinta Kakek kepada Dimas.
“oke deh..., tapi setelah Dimas belikan
sandal baru,
Kakek kasih tau ya sandalnya mau
dipakai untuk apa....”
sahut Dimas.
“okeee” kata Kakek sambil mengacungkan
Jempol.
Kakek segera
membungkusku setalah Dimas pergi untuk membelikan sandal baru penggantiku.
Dalam bungkusan plastik hitam yang gelap, aku terus bertanya-tanya. Akan
digunakan untuk apa aku? Untuk maksiat? Tidak aku mohon jangan ya Robb, atau
untuk melakukan hal yang sia-sia? Aku juga tidak menginginkan hal itu ya Allah.
Krsek.. kresek...
Suara plastik
yang membungkusku dibuka. Aku bersiap menyambut pemilik baruku, atau dimana aku
akan digunakan. Sentuhan yang bisa aku pastikan kalau itu tangan kakek
menjintingku, mengeluarkanku dari dalam plastik.
Setelah
kurasakan tubuhku mendarat pada sesuatu. Aku tidak melihat apa-apa diluar sini,
bahkan wajah kakek. Aku hanya merasa berada diatas lantai kasar yang lembab dan
sangat gelap. Kemudian kakek meninggalkanku.
Sesaat setelah
kudengar kakek menutup pintu. Aku mendengar suara langkah kaki mendekat. “Ctek....” tiba-tiba cahaya lampu diruangan ini
menimpa mataku, silau sekali.
Dalam kesilauan ku yang berangsur memulih, samar kuliahat langit putih tepat
diatasku. Setelah
kuperhatikan dengan sekasama, langit itu tidak terlalu laus, hanya seukuran dua
meter persegi.
Seiring
pandanganku semakin membaik, perlahan aku menurunkan pandnagan untuk meliahat dan
memastikan dimana aku berada saat ini. Kulihat
didepanku ada bak mandi yang besar dan tinggi, disampingnya ada closet WC,
kemudian gayung mandi, tempat sabun dan isinya. Sekarang aku di
tempat buang hajat pikirku.
Kekecewaan
serentak menyerang pikiranku. Hal yang tak pernah terpikir olehku sebelumnya.
Begitu teganya kakek menempatkanku disini. Lebih baik aku digunakan untuk
maksiat dan berbuat sia-sia daripada harus menapaki rumah setan setiap harinya,
batinku.
“oh, disini ya sandalnya kek”, kudengar suara Dimas dibalakangku.
“iya dimas,
habis WC kita tidak ada sandalnya”
“kenapa harus
di WC kek, kasian kan sandalnya, setiap hari dipakai untuk nginjak najis”
“bukan begitu
Dimas, daripada kaki dimas langsung yang nginjak najisnya terus dibawa
kemana-mana lalu najis semua, ayo gimana?”
“iya sih kek,
tapi bagaimanapun juga, sandal ini kan sebelumnya kakek bawa untuk kebaikan
terus, masa akhirnya hanya untuk alas kaki di WC”
“nah itu dia, melindungi
kita dari najis itu juga sebuah kabikan loh. Dimas tau gak, kalo Rosululloh itu
setiap ke tempat buang hajat pakai alas kaki”
“gak tau kek?”
“pantas saja,
nah mulai sekarang pakailah sandal setiap didalam WC, karna itu sunnah
Rosululloh”
“oh.. begitu
yaa, iya deh kek, Dimas akan selalu pakai sandal kalo di dalam WC”
“nah begitu..
Cucu pintar”
Dalam kegelapan ini aku aku terfikir
lagi betapa beruntungnya aku, walau aku tidak berada ditempat yang mulia, namun aku
masih berguna untuk hal yang mulia. Disinilah
aku akan berakhir, menggunakan sisa-sisa kehidupanku. Dan aku merasa bangga telah menjadi bagian dari sunah
Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wassalam.
Created By: Harits Nasrulloh
Edited By : Khalid Muttaqin